Skip to main content

Revitalisasi Pendidikan Non-Formal


Sebelum mengenal pendidikan formal seperti saat ini, Indonesia memiliki budaya pendidikan non-formal yang memiliki peran besar dalam sejarah peradaban di nusantara. Secara sederhana, pendidikan non-formal diartikan sebagai pendidikan yang tidak memiliki struktur, regulasi dan kurikulum yang kaku. Materi pembelajaran, tempat dan waktu pun bisa disesuaikan atas dasar kesepakatan bersama.
Di Indonesia, pendidikan non-formal mulai marak dilakukan pasca masuknya ajaran Islam. Wali songo dan para kyai kala itu kerap mengupulkan jamaah setelah shalat berjamaah. Dalam forum tersebut, berbagai ilmu khususnya ilmu agama di ajarkan kyai kepada masyarakat. Orang-orang seperti Hasyim Asyari ataupun Ahmad Dahlan, merupakan produk dari model pendidikan non-formal tersebut.
Bahkan dalam masa penjajahan, pendidikan non-formal memiliki peran yang sangat krusial. Seperti kita ketahui, pada masa itu sekolah hanya milik bangsa kulit putih dan pribumi yang kaya. Mengenyam pendidikan formal merupakan hal yang mustahil bagi pribumi miskin. Disinilah pendidikan non-formal memainkan peranya sebagai jantung intelektual pribumi. Pasca kemerdekaan, geliat pendidikan non-formal mengalami perkembangan yang signifikan. Bahkan materi yang diajarkan tidak terpaku pada keilmuan agama, tapi sudah merambah keilmuan umum.

Jika menelisisik lebih jauh, esensi atau ruh pendidikan yang sesungguhnya justru ada dalam pendidikan non-formal. Anak-anak berduyun-duyun datang ke masjid dengan niat mencari ilmu, bukan mencari ijazah. Guru pun mengajar atas dasar pengabdian, bukan karena gaji atau tuntutan hidup.
Sayangnya saat ini pendidikan non-formal semakin kehilangan tempat. Regulasi yang menjadikan angka dan ijazah sebagai tolak ukur siswa membuat pendidikan non-formal ditinggalkan. Contohnya, saat ini ijazah Madrasah(bukan pengetahuan agama atau baca Quran) menjadi salah satu syarat siswa melanjutkan pendidikan ke SMP. Akibatnya, anak-anak yang biasa mengaji di masjid setelah shalat magrib(non-formal), harus beralih ke Madrasah(formal). Padahal keduanya sama-sama mengajarkan ilmu agama. Secara tidak langsung, kebijakan tersebut membentuk stereotip masyarakat untuk mengejar ijazah dalam bersekolah.
Secara berjamaah, kita semua terjebak dalam sistem pendidikan yang mulai membelenggu ruh dari pendidikan itu sendiri. Wajar saja jika generasi muda mengalami krisis identitas, kepribadian dan karakter, karena angka atau ijazah tidak akan mampu mencetak semua itu. Apapun dan bagaimanapun kurikulumnya, selama orientasi dari pendidikan hanyalah ijazah, pendidikan kita akan sulit mencetak generasi yang bekerakter.
Perlu rasanya kembali memarakan pendidikan non-formal tanpa harus membubarkan pendidikan formal. Yang perlu dilakukan hanyalah menyandingkan keduanya. Karena keduanya memiliki peran dan ranah yang berbeda. Jika pendidikan formal berkonsentrasi dalam ranah kognitif(pengetahuan), maka pendidikan non-formal bisa mengembangkan sisi afektif(peilaku, karakter).

Comments

Popular posts from this blog

Menyiapkan Ikan Arwana untuk Kontes Ala Iseereds Jakarta

Bibit Ikan Arwana Iseereds Jakarta foto Fedrik/Jawa Pos Setiap kontestasi selalu menuntut lebih untuk menjadi yang terbaik. Pun sama halnya dengan arwana super-red. Mempersiapkan mereka agar siap ”diadu” membutuhkan atensi, waktu, dan modal jauh lebih besar daripada untuk sekadar pajangan. --- ADA serangkaian proses dan tahapan yang wajib dilalui dalam menyiapkan arwana kontes. Karena sifatnya wajib, satu proses saja yang tidak maksimal hampir dipastikan hasilnya tidak akan maksimal. Pendiri Iseereds Jakarta Michael Leonard memaparkan, proses melahirkan arwana super-red jempolan bahkan harus dimulai sejak pemilihan bibit. Biasanya, para pemburu mencari bibit dengan anatomi bagus dan seunik mungkin. Misalnya, kepala dengan kontur sendok yang sempurna. Kemudian sirip dayung yang panjang hingga ekor besar yang memunculkan aura gagah. ”Masalahnya, hunting ikan dengan anatomi bagus itu nggak gampang. Karena orang sudah rebutan,” ujarnya saat ditemui di kediamannya di Sunter, Jakarta Utara,

Hadits-hadits Dakwah

  Kewajiban Dakwah 1)       مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرٍ فَاعِلِهِ (رواه مسلم) “Barang siapa yang menunjukkan kepada suatu kebaikan, maka baginya pahala seperti orang yang melaksanakannya” 2)       مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ . ( وراه صحيح مسلم) Rasulullah pernah bersabda: “ Barangsiapa yang melihat kemungkaran, maka cegahlah dengan tanganmu, apabila belum bisa, maka cegahlah dengan mulutmu, apabila belum bisa, cegahlah dengan hatimu, dan mencegah kemungkaran dengan hati adalah pertanda selemah-lemah iman ” HUKUM BERDAKWAH 1)       اَنْفِذْ عَلَى رَسُلِكَ حَتَّى تَنْزِلَ بِسَاحَتِهِمْ ثُمَّ اُدْعُهُمْ إِلَى الإِسْلاَمِ وَأَخْبِرْهُمْ بـِمَا يَجِبُ عَلَيْهِمْ مِنْ حَقِّ اللهِ فِيْهِ فَوَاللهِ لِأَنْ يَهْدِيَ اللهُ بِكَ رَجُلاً وَاحِداً خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ يَكُوْنَ لَكَ حُمْرُ النَّعَمِ )  (رواه البخارى) “Aj

Ayat dan Hadits Tentang Komunikasi Efektif

Bab I Pendahuluan Dalam perspektif Islam, komunikasi merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan manusia karena segala gerak langkah kita selalu disertai dengan komunikasi. Komunikasi yang dimaksud adalah komunikasi yang islami, yaitu komunikasi berakhlak al-karimah atau beretika. Komunikasi yang berakhlak al-karimah berarti komunikasi yang bersumber kepada Al-Quran dan hadis (sunah Nabi).  Dalam Al Qur’an dengan sangat mudah kita menemukan contoh kongkrit bagaimana Allah selalu berkomunikasi dengan hambaNya melalui wahyu. Untuk menghindari kesalahan dalam menerima pesan melalui ayat-ayat tersebut, Allah juga memberikan kebebasan kepada Rasulullah untuk meredaksi wahyu-Nya melalui matan hadits. Baik hadits itu bersifat Qouliyah (perkataan), Fi’iliyah (perbuatan), Taqrir (persetujuan) Rasul, kemudian ditambah lagi dengan lahirnya para ahli tafsir sehingga melalui tangan mereka terkumpul sekian banyak buku-buku tafsir.