Mie
instan sekalipun, tetap membutuhkan proses untuk bisa disantap…
Ungkap
salah seorang kawan dalam sebuah status facebook miliknya. Sebuah analogi yang
tampaknya perlu kita jadikan pijakan, terlebih di era modern yang selalu
menawarkan sesuatu yang serba instan. Pola pikir instan mencirikan pribadi yang
malas. Orang pun hanya akan bermimpi untuk meraih hal, tanpa mau melalui
rentetan proses -yang notabene rukun yang mustahil untuk ditanggalkan.
Permainan
cantik yang berujung pada titel Piala AFF U-19 dan tiket AFC U-19 yang diraih timnas
Indonesia U-19 menjadi bukti terbaru, jika prestasi membutuhkan proses. Jika
menengok perjalanan mereka, kerangka tim asuhan Indra Syafri ini telah
terbentuk sejak U-16. Meskipun pada perjalananya terjadi bongkar pasang pemain,
tapi pondasi dan kerangka tim telah dibentuk sejak tiga tahun lalu.
Permainan
yang menggairahkan pun pernah diperagakan Timnas senior pada pagelaran Piala
Asia 2007 di Jakarta. Meskipun gagal lolos fase grup, tapi cara bermain timnas
saat itu mampu menumbuhkan kembali tunas euforia akan timnas yang telah lama
mati. Kalau kita menengok perjalananya, tidak kurang dari empat bulan lamanya
Ivan Kolev mempersiapkan Firman Utina cs kala itu.
Dari
dua kasus tadi, nampaknya kita sepakat jika persiapan yang maksimal sangat
menentukan sejauh mana langkah yang bisa dicapai sebuah tim. Karena tim itu
seperti sebuah sistem, dimana setiap komponenya perlu dipadukan terlebih dahulu.
Kala sistem tidak berjalan baik, maka ada hal yang perlu diperbaiki, dikurangi
atau ditambah. Sehingga perlahan akan menjadi sebuah sistem yang sanggup
berjalan maksimal. Dan ini jelas membutuhkan waktu!
Sehebat
apapun potensi yang dimiliki bangsa ini, jika itu tidak dipersiapkan secara matang,
maka akan sulit. Dan pada akhirnya kita akan mengatakan “Mencari 11 pemain
dari 240 juta orang ternyata sulit ya?”. Tapi sebaliknya, negara
berperingkat 162 FIFA pun akan sanggup menjungkalkan negara sekelas Korea
Selatan jika dipersiapkan secara maksimal. Dan U-19 telah membuktikanya!
Maka
jangan heran, jika Boaz Salossa cs belum bisa mendapatkan hasil dan permainan yang
maksimal kala bersua China pada lanjutan kualifikasi Piala Asia 2015 beberapa
waktu lalu. Wong persiapan cuma 11 hari? Dan itu masih diperparah dengan
tiadanya uji coba -yang notebene berfungsi untuk mengukur kemampuan tim. Persiapan
yang mepet, masih menjadi penyakit yang menerjang timnas Indonesia, khususnya
di level senior. Ini menjadi tidak ideal, jika melihat kondisi timnas senior
yang masih berada pada level pembentukan kerangka tim. Mungkin akan lain
persoalan jika pondasi dasarnya telah terbentuk.
Sengkarut
Jadwal kompetisi
Mengaca
pada yang sudah-sudah, persoalan gesekan jadwal kompetisi dengan pelatnas masih
menjadi penyebab kocar-kacirnya persiapan timnas. Hal ini menjadi maklum
jika melihat jadwal kompetisi kita yang “dipaksa” menyesuaikan dengan pemegang
hak siar. Maka jangan heran jika jadwal kompetisi di Indonesia begitu ruwet.
Dalam satu kesempatan, ada klub yang dipaksa bermain tiga kali seminggu.
Tapi dalam lain kesempatan, klub tersebut dibiarkan libur dua minggu. Hasilnya,
disaat pelatnas dilakukan, selalu saja ada pemain yang terlambat bergabung
akibat tenaganya masih dibutuhkan klub. Ini berbeda dengan jadwal kompetisi di
liga-liga eropa yang begitu rapih dan berjalan serentak. Maka benar, jika
prestasi timnas selalu berbanding lurus dengan manajemen kompetisinya.
Sudah
selayaknya PSSI atau pengelola liga bertindak tegas kepada pemegang hak siar.
Biarkan mereka yang menyesuaikan! PSSI tak perlu takut tidak laku. Dengan
semakin besarnya antusias masyarakat terhadap sepak bola nasional, mereka akan
berfikir ulang untuk tidak menyiarkan kasta tertinggi sepak bola nasional.
Justru sebaliknya, mereka akan berebut! Karena pada dasarnya, hal dasar yang
menjadi pertimbangan pemodal adalah sebesar apa antusias pasar. Dan antusias
masyarakat lahir dari pengelolaan kompetisi yang baik.
Semoga,
apa yang telah diperlihatkan skuad “Garuda Jaya”, dengan kerendahan hatinya,
militansinya, serta loyalitasnya untuk memajukan sepak bola Indonesia mampu
membuka pintu hati pengurus PSSI. Bahwa kita perlu berkorban untuk bangsa ini,
tak terkecuali mengorbankan materi, ambisi pribadi, maupun kelompok. Yang muda
sudah memberikan contoh bung!
(Dimuat di Harian Bola Edisi Rabu, 6 November 2013)
(Dimuat di Harian Bola Edisi Rabu, 6 November 2013)
Comments
salam kenal,
Sindhu
http://0sprey.wordpress.com