Pemilihan Umum
(Pemilu) legislatif yang akan digelar serentak pada 9 April mendatang tinggal
menghitung hari. Hajatan yang menjadi wujud demokrasi tersebut digadang-gadang
akan menentukan nasib bangsa Indonesia, setidaknya dalam lima tahun ke depan.
Milihat besarnya urgensi pemilu, terselenggaranya pemilu yang berkualitas –yang
menghasilkan wakil rakyat yang kompeten menjadi hal yang perlu diperjuangkan
oleh seluruh elemen bangsa, tak terkecuali pemuda.
Jika menengok
sejarah, peran pemuda dalam perjalanan bangsa Indonesia tidak bisa dipandang
sebelah mata. Pada era pra kemerdekaan, pemuda mampu menggalang semangat
persatuan (nation) yang diwujudkan dalam peristiwa Sumpah Pemuda. Pada
era pasca kemerdekaan, kita mengenal generasi 65, peristiwa Malari 1974, hingga
reformasi 98 yang memiliki dampak dalam keberlangsungan bangsa Indonesia hingga
hari ini. Semua catatan sejarah tersebut merupakan bukti riil, jika pemuda
memiliki posisi dan peran penting dalam menentukan arah bangsa ke depannya. Dan
dalam konteks pemilu 9 April mendatang, ibu pertiwi tampaknya masih membutuhkan
gerakan pemuda.
Sebagaimana
kita ketahui, pesta demokrasi di Indonesia masih meninggalkan kecacatan di mana-mana.
Di sisi penyelenggaraan, ancaman money politic, kompetensi calon
legislatif yang minim, hingga berbagai praktek kecurangan yang kerap dilakukan
oknum tertentu menjadi persoalan tersendiri. Gayung pun bersambut, kala melihat
mayoritas masyarakat yang tidak memiliki pemahaman politik memadai. Pada
akhirnya, terkadang masyarakatlah yang turut melanggengkan berbagai persoalan
yang terjadi dalam pelaksanaan pemilu. Semisal memilih caleg yang memberi uang,
memilih caleg atas dasar ketenaran, dan lain sebagainya. Dalam hal ini -selain
persoalan ekonomi, minimnya pendidikan politik masyarakat juga menjadi penyebab
utama rentetan kegagalan pemilu dalam melahirkan wakil rakyat yang ideal.
Memang benar,
apa yang dikatakan Ketua MPR Sidarta Danusubroto dalam sebuah seminar di kampus
UIN beberapa waktu lalu. Menurutnya, untuk menciptakan pemilu yang berkualitas
dibutuhkan 2 hal, pertama kesadaran masyarakat, dan yang kedua kondisi “perut yang
kenyang”. Dari dua hal tersebut, saya pikir pemuda bisa turut andil dalam
memenuhi poin pertama, yaitu persoalan kesadaran masyarakat.
Sangatlah
sulit –untuk tidak mengatakan mustahil- jika kita berharap partai politik atau
caleg melakukan pendidikan politik bagi masyarakat. Karena hingga hari ini,
para pelaku politik di negeri ini masih memposisikan masyarakat sebagai
komoditas suara, bukan sebagai objek atau kelompok yang harus disejahterakan
ketika terpilih nanti. Maka tidak bisa dipungkiri, gerakan pemuda untuk
melakukan pendidikan politik kepada masyarakat menjadi penting.
Dalam
praktiknya di lapangan, para pemuda bisa mengkampanyekan gerakan “cerdas
memilih” melalui sosial media, seminar/workshop, door to door, hingga
gerakan kultural memanfaatkan hubungan kekerabatan maupun persaudaraan di
masyarakat. Lembaga-lembaga seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), komunitas
diskusi, hingga Karang Taruna memiliki posisi strategis untuk mengkomandoi
kegiatan tersebut.
Jika upaya-upaya tersebut bisa dilakukan secara
maksimal, bukan tidak mungkin –pemilu 9 April mendatang menjadi arus balik
kemajuan bangsa Indonesia sebagai dampak terpilihnya wakil rakyat yang ideal.
Dan bila itu terwujud, maka tinta emas sejarah Indonesia akan kembali
mencatatkan nama pemuda sebagai ujung tombak perubahan. Semoga!
(Tulisan ini dimuat di Koran SINDO edisi Sabtu, 15 Maret 2014)
Comments