Hembusan
angin yang bertiup ke arah barat kala Gunung Kelud meletus membuat Jogja
menjadi salah satu kota yang terkena dampak abu vulkanik. Jika dibandingkan
erupsi merapi tahun 2010, kondisi udara di Jogja saat ini jauh lebih parah. Tak
ayal, rutinitas masyarakat Jogja di berbagai sektor nyaris lumput. Sultan pun
langsung menetapkan status “DIY tanggap bencana” selama seminggu. Tak hanya
itu, dana miliyaran rupiah juga siap digelontorkan pemerintah Kota Jogja guna
menanggulangi abu vulkanik.
Hingga
status tanggap bencana berakhir, berbagai upaya yang dilakukan pemerintah dan
masyarakat belum mampu menghilangkan abu vulkanik sepenuhnya. Terbukti, kepulan
debu masih kerap menyelimuti berbagai wilayah di Jogja, terlebih di jalan raya.
Tentu ini bukanlah kondisi yang nyaman bagi masyarakat. Akibatnya, sultan
menginstruksikan seluruh warga DIY melakukan kerja bakti.
Dilihat dari
kacamata kesehatan, abu vulkanik merupakan jenis debu yang berbahaya bagi tubuh
manusia. Bentuknya tipis, kecil, dan ujungnya runcing, sampai-sampai bulu
hidung tak kuasa menyaringnya. Jika mengenai mata atau masuk ke pernafasan
dalam kurun waktu yang lama, sesuatu yang fatal bisa terjadi pada manusia.
Melihat resiko yang sedemikian besar, sudah sepatutnya -pemerintah selaku penyelenggara
negara -yang berkewajiban melindungi rakyatnya menelurkan langkah yang solutif.
Selama ini,
upaya yang dilakukan pemerintah dalam menanggulangi abu vulkanik masih berkutat
pada cara lama, yakni menyiramkan air di sepanjang jalan tanpa ada upaya
lanjutan yang intens. Jika kita amati dampaknya, cara yang dipilih
pemerintah terkesan sangat parsial, dalam artian tidak mampu menyelesaikan
persoalan secara menyeluruh. Pada faktanya abu masih bertebaran di bahu-bahu
jalan. Bukan hanya persoalan kembalinya abu kala kering, tapi penyiraman air seyogyanya hanya proses pemindahan abu -yang
awalnya di jalanan menjadi di saluran air. Itu artinya, drainase akan
menjadi persoalan baru kala hujan lebat melanda Kota Jogja.
Dari segi
kandungan, abu vulkanik mengandung zat-zat seperti sulfur, nitrogen, dan
mineral yang baik bagi kesuburan tanah. Dalam hal ini, abu vulkanik bisa
dimanfaatkan menjadi pupuk di sektor pertanian. Tak hanya itu, kandungan
belerang yang ada pada abu vulkanik juga sanggup membunuh hama tanaman. Itu
artinya, peluang untuk mengelola “bencana” menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat
sangatlah terbuka. Inilah yang semestinya dilakukan manusia sebagai makhluk
berakal. Dan pemerintah selaku pemegang kebijakan, bisa memotori gerakan ini.
Seperti kita
ketahui, tidak semua daerah di DIY memiliki kondisi tanah yang subur, terlebih
di wilayah Kulon Progo dan Gunung Kidul. Jadi jika abu yang bertebaran di jalan
dikumpulkan, diangkut, dan diantar ke wilayah yang tandus, maka ini menjadi
langkah yang jauh lebih baik ketimbang membuat macet saluran air.
Dengan demikian,
upaya rehabilitasi bencana bisa ‘ditunggangi’ dengan perbaikan di sektor lain,
dalam hal ini pertanian. “Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui”.
Begitu pesan nenek moyang dalam sebuah peribahasa.[]Tulisan ini dimuat Surat Kabar Harian Jogja Edisi Selasa 25 Februari 2014.
Comments