Tampuk kepemimpinan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono yang telah berlangsung 10 tahun akan segera berakhir.
Pemilihan Presiden yang telah dilaksanakan 9 Juli lalu melahirkan pasagan
Jokowi-JK sebagai penggantinya. Berbagai persoalan –baik persoalan laten maupun
persoalan baru telah menantinya. Di kepemimpinan keduanya lah, wajah Indonesia lima
tahun ke depan akan ditentukan. Lalu, apa tantangan terbesar pemerintahan baru?
Sebagai negara berkembang, persoalan elementer
tentu masih menjadi menjadi “menu utama” yang wajib disantap pemerintahan baru
dibawah kendali Jokowi-JK. Sebut saja masalah pemerataan pendidikan, jaminan
kesehatan, kesenjangan sosial, infrastruktur, dan persoalan mendasar lainnya.
Persoalan dasar itu menjadi penting untuk segera diselesaikan, guna menghadapi
tantangan besar lainnya yang sudah tampak di depan mata, yakni globalisasi yang
salah satu dampaknya adalah perdagangan bebas.
Perjanjian untuk mengintegrasikan perekonomian kawasan ASEAN, atau
dikenal dengan istilah MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) akan dimulai awal tahun 2015
mendatang. Tak bisa dipungkiri –layaknya sebuah “pertarungan”, perjanjian ini
akan melahirkan “pemenang” dan “pecundang”. Negara yang mempersiapkan diri
dengan baik, tentu akan memainkan peranan yang dominan atau pemenang. Dan tentu
kita tidak menghendaki Indonesia berada pada posisi pecundang.
Secara kasat mata, setidaknya ada dua
resiko yang harus diterima Indonesia jika tidak menyiapkan strategi yang
sistematis dan taktis. Pertama, competition risk. Minimnya
hambatan perdagangan yang berimplikasi pada meningkatnya laju ekspor-impor akan
menciptakan homogenitas komoditas yang dijualbelikan. Pertarungan kualitas dan
harga menjadi tantangan terberat bagi industri dalam negeri, khususnya pelaku
UKM (Usaha Kecil Menengah) yang minim modal.
Membanjirnya produk Tiongkok yang merupakan
efek dari MoU ACFTA (ASEAN–China Free Trade Area) yang berlaku
pada 2010 lalu harus dijadikan
pelajaran. Kegagalan persaingan produk tidak hanya meningkatkan defisit neraca
perdagangan Indonesia, yang lebih mengerikan adalah terbunuhnya industri dalam
negeri. Karena itu, kaloborasi apik antara pemerintah Jokowi-Jk dengan pelaku
usaha menjadi penting. Pembenahan infrastruktur, baik fisik maupun sosial
(hukum dan kebijakan), serta peningkatan SDM (Sumber Daya Manusia) adalah
upaya-upaya yang bisa dilakukan.
Kedua, resiko ketenagakerjaan. Mudahnya
akses mencari pekerjaan sesuai kebutuhan dan keahlian di kawasan ASEAN
memberikan tantangan tersendiri bagi SDM Indonesia. Pelaku wirausaha akan
semakin dimanjakan dalam mencari pekerja yang diinginkan. Artinya, bisa saja
pelaku usaha di Indonesia mengambil tenaga kerja dari Thailand atau Malaysia,
jika mereka dinilai lebih kompeten dan menguntungkan perusahaan. Melihat SDM
Indonesia yang masih tertinggal dari sisi pendidikan dan produktifitas dari
Singapura, Thailand dan Malaysia, rasanya kita perlu khawatir, Indonesia
kembali menjadi penonton di negara sendiri.
Tapi pertarungan belum dimulai. Masih
ada sedikit waktu yang bisa digunakan untuk mempersiapkan diri menghadapi
tantangan tersebut, khusunya disektor kebijakan. Di tengah kondisi pemerintahan
yang “saling sikut”, semoga ekspektasi besar yang dilayangkan masyarakat kepada
Jokowi-JK mampu dijawab dengan kerja dan hasil yang maksimal. Selamat bekerja,
bapak Presiden kami yang baru!
Comments