Pada awal bulan Juni lalu, salah satu lembaga
survei di Amerika menyatakan Indonesia sebagai negara pengguna smartphone
teratas dengan rata-rata penggunaan 181 menit per hari. Di posisi kedua ada Filipina
dengan rata-rata penggunaan 141 menit per hari. Sementara Tiongkok, Brazil dan
Vietnam masing-masing berada diurutan ketiga, keempat dan kelima.
Angka tersebut berbanding lurus dengan terus meningkatnya
penjualan smartphone di Indonesia. Menurut data International Data
Corporation (IDC), sebuah lembaga periset pasar internasional, Indonesia
menyumbang 30 persen penjualan smartphone di Asia Tenggara. Di samping
semakin terjangkaunya harga smartphone, meningkatnya jumlah kelas
menengah di Indonesia dinilai banyak pihak sebagai faktor perilaku konsumtif
masyarakat Indonesia, tak terkecuali untuk produk telekomunikasi termutakhir.
Dan mayoritas pengguna smartphone adalah kalangan muda di kisaran 15-28
tahun.
Di satu sisi fakta ini menggembirakan, karena
menunjukkan masyarakat yang “melek” teknologi, tapi di lain sisi
menimbulkan keprihatinan, jika melihat pemanfaatannya yang tidak produktif. Berdasarkan
riset yang dilakukan Nielsen On Device Meter (ODM) pada Februari 2014,
mayoritas perangkat-perangkat praktis tersebut digunakan untuk bersantai. Hanya
sebagian kecil saja yang benar-benar mengeksplorasi kecanggihan ponsel pintar
tersebut.
Ini dibuktikan dengan data riset ODM yang
menyebutkan, durasi waktu terbesar penggunaan smartphone juga ada pada chatting,
atau sebatas mengganti fitur SMS menjadi sosial media. Aplikasi seperti BBM,
WhatsApp, Line, WeChat dan sejenisnya –yang notabene memiliki fungsi yang sama
pun ramai diburu dan dikoleksi. Itu artinya, pemanfaatan smartphone
secara lebih jauh masih belum terjadi.
Pada akhirnya, smartphone lebih pada
persoalan gaya hidup (will), bukan berlandaskan kebutuhan (need) substansial,
karena toh jika hanya chatting, apa bedanya dengan SMS di handphone
biasa. Kesan konsumtif menjadi jauh lebih kental dibanding fenomena melek
teknologi yang banyak dibangga-banggakan pemerintah. Padahal jika dimanfaatkan
secara maksimal, smartphone sanggup memberikan banyak hal positif, mulai
dari wahana mengeruk wawasan, hingga alat pendeteksi kesehatan seperti yang
ditawarkan aplikasi Instant Heart Rate.
Persoalan akan jauh lebih kompleks jika kita
melihat fenomena-fenomena penyalahgunaan smartphone, khususnya di
kalangan remaja. Proteksi pemerintah terhadap situs-situs “terlarang” yang
masih lemah, ditambah dengan minimnya pengawasan orang tua akan menjadi bencana
tersendiri bagi moralitas generasi muda. Peristiwa tindakan asusila yang mulai dilakukan
anak-anak di bawah umur merupakan bukti betapa bahayanya (kemudahan) akses
tanpa pendidikan bagi penggunanya. Belum lagi jika kita mendengar berbagai
keluhan guru melihat waktu belajar siswa tersita ponsel pintar tersebut.
Oleh karenanya, pemerintah dalam hal ini perlu
mengkampanyekan penggunaan smartphone secara baik dan bijak kepada
masyarakat. Pemahaman akan fungsi dan proteksi atas potensi penyalahgunaan
harus mulai ditindaklanjuti secara lebih serius. Upaya pemerintah Korea Selatan
mengawasi penggunaan smartphone di kalangan remaja adalah kebijakan yang
perlu diadopsi. Terlebih sudah banyak aplikasi yang bisa digunakan untuk
merealisasikan kebijakan tersebut, semisal aplikasi iSmartKeeper yang kini
digunakan pemerintah Korea Selatan. Semoga!
Tulisan ini dimuat rubrik Digital SKH Kedaulatan Rakyat edisi Senin 6 Oktober 2014
Comments