Skip to main content

Kemana Petani Mencari Nyawanya?


Meski hidup di kota, saya beruntung masih bisa mendapatkan kost yang dekat dengan sawah. Meski tidak begitu luas, tapi beberapa petak sawah tersebut sanggup memberikan kenyamanan yang cukup untuk ukuran kota besar seperti Jogjakarta. Selain jauh dari hiruk-pikuk kendaraan, suara katak dan jangkrik masih bisa saya jumpai di dalam kegelapan dan kesunyian malam, khususnya di musim penghujan. Sungguh nyaman!
Sawah-sawah tersebut cukup produktif. Jika saya tidak salah mengamati, dalam satu tahun masih bisa panen 2 sampai 3 kali, meski yang ketiganya hanya menghasilkan jagung atau singkong. Nyawa sawah tersebut sangat bergantung pada sungai –atau lebih cocoknya disebut selokan kecil yang mengalir sepanjang Gang Salak, Sorowajan Baru. Selokan tersebut mengalir dari utara ke selatan, layaknya sungai-sungai yang ada di Jogja.
Di musim hujan, aliran air di selokan tersebut lumayan deras, atau minimalnya mengalir lancar. Tapi di musim kemarau, selokan tersebut lebih mirip tempat sampah. Berbagai jenis sampah ada di dalamnya. Mulai dari bantal, plastik sisa konsumsi manusia, hingga bangkai ayam. Beruntung, masih ada sedikit air yang mau mengalir. Meskipun alirannya tidak lebih deras dari aliran kran PDAM yang mengaliri perumahan di musim kemarau.
Di musim-musim inilah, babak baru kehidupan petani kota berlangsung. Petani yang sawahnya lebih dulu di aliri sungai (sebelah utara), dialah yang beruntung jika dilihat dari perspektif “takdir”. Tapi petani yang letak sawahnya paling ujung (sebelah selatan) juga tidak begitu saja menerima “takdir” jika sawahnya tidak kebagian air. Alhasil, “aksi saling sikut” tak bisa terelakkan lagi.
Dalam beberapa kesempatan, saya kerap menjumpai aksi “saling sabotase” yang dilakukan para petani kota tersebut. Aksi tersebut biasanya dilakukan di malam hari. Dikisaran pukul 22.00 WIB hingga dini hari. Petani yang kebetulan memiliki sawah di utara mulai membendung selokan, agar air yang minim tersebut bisa mengalir di sawahnya. Adapun petani yang memiliki sawah di selatannya juga tidak mau pasrah, dia rusak bendungan tersebut agar air tetap bisa membasahi “dahaga” padi-padi miliknya yang kebetulan ditanam di sebelah selatan. Begitu seterusnya. Pada aliran selokan sepanjang 50 meter saja, saya melihat tidak kurang dari 6 bendungan.
Begitulah kira-kira gambaran kehidupan petani di kota –atau mungkin petani di seluruh penjuru nusantara jika kemarau melanda. Suka tidak suka, “alam” memaksa mereka untuk bersaing dengan kawannya sesama petani. Aksi sabotase yang dilakukan malam hari adalah bukti bahwa mereka sebetulnya malu, dan enggan untuk berbuat buruk kepada sesamanya. Tapi apa daya, sawah adalah nyawa mereka, sumber penghidupan mereka beserta keluarganya. Sawah adalah harapan dari nasib dan masa depa anak-anak mereka.
Indonesia, atau wilayah Jogja dan sekitarnya (kecuali Gunung Kidul) sebetulnya memiliki potensi air yang melimpah ruah. Pegunungan Merapi-Merbabu tidak pernah berhenti mengucurkan sumber kehidupan di wilayah tersebut. Tapi mengapa, air berubah menjadi barang yang sulit di dapatkan…?? Ke mana air itu mengalir..?? Apa mungkin air habis?
Jika kita pergi ke arah timur laut, atau tepatnya di Kabupaten Klaten, kita akan menemui pabrik air mineral terbesar di Indonesia. Produk air mineral berkemasan milik perusahaan transnasional tersebut menyedot, atau mungkin lebih tepatnya “merampok” sumber penghidupan petani dan masyarakat pada umumnya. Entah sudah berapa ribu, atau berapa juta meter kubik air yang dicuri, yang kemudian dijual kepada pemilik yang sesungguhnya, yakni masyarakat.
Saya gelisah melihat kenyataan ini. Entah berapa kali, saya membaca kalimat begini ; (katanya) Tanah, Air, Udara harus dikuasai negara dan dipergunakan untuk kepentingan rakyat. Konon kalimat ini dikutip dari konstitusi di negara ini. Tapi kok faktanya cuma segelintir orang yang mengeruk manisnya? Atau mungkin selama ini saya salah dalam mendefinisikan rakyat? Toh segelintir orang yang menikmati juga rakyat (?) Dan buktinya negara membiarkan hal ini terjadi (?)
Hmmm… tapi nampaknya tidak seperti ini deh… karena pada kalimat yang saya baca tadi, amanatnya harus dikuasai negara. Nah ini kan dikuasai swasta, dikuasai pemodal. Oh, mungkin sudah ada aturan lainnya kali yak, yang membolehkan swasta “merampok” alam kita. Karena nyatanya keberadaan mereka legal, itu artinya atas ijin dan sepengetahuan negara.
Berbicara aturan baru, berarti aturan baru tersebut kontradiksi dong dengan amanat konstitusi yang saya baca sebelumnya. Tapi kalo memang kontradiksi, kok gak ada yang protes ya? Padahal ada ribuan ahli hukum yang diwisuda berbagai kampus setiap tahunnya, dan pengetahuannya (sudah terakreditasi). Atau jangan-jangan inilah yang disebut aktivis-aktivis yang gagah-gagah itu sebagai sistem Neoliberalisme? Di mana kekuasaan negara dirontokkan oleh kepentingan pemodal, kepentingan kapital.

Aduhh,,, saya semakin pusing… 

Comments

Popular posts from this blog

Menyiapkan Ikan Arwana untuk Kontes Ala Iseereds Jakarta

Bibit Ikan Arwana Iseereds Jakarta foto Fedrik/Jawa Pos Setiap kontestasi selalu menuntut lebih untuk menjadi yang terbaik. Pun sama halnya dengan arwana super-red. Mempersiapkan mereka agar siap ”diadu” membutuhkan atensi, waktu, dan modal jauh lebih besar daripada untuk sekadar pajangan. --- ADA serangkaian proses dan tahapan yang wajib dilalui dalam menyiapkan arwana kontes. Karena sifatnya wajib, satu proses saja yang tidak maksimal hampir dipastikan hasilnya tidak akan maksimal. Pendiri Iseereds Jakarta Michael Leonard memaparkan, proses melahirkan arwana super-red jempolan bahkan harus dimulai sejak pemilihan bibit. Biasanya, para pemburu mencari bibit dengan anatomi bagus dan seunik mungkin. Misalnya, kepala dengan kontur sendok yang sempurna. Kemudian sirip dayung yang panjang hingga ekor besar yang memunculkan aura gagah. ”Masalahnya, hunting ikan dengan anatomi bagus itu nggak gampang. Karena orang sudah rebutan,” ujarnya saat ditemui di kediamannya di Sunter, Jakarta Utara,

Hadits-hadits Dakwah

  Kewajiban Dakwah 1)       مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرٍ فَاعِلِهِ (رواه مسلم) “Barang siapa yang menunjukkan kepada suatu kebaikan, maka baginya pahala seperti orang yang melaksanakannya” 2)       مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ . ( وراه صحيح مسلم) Rasulullah pernah bersabda: “ Barangsiapa yang melihat kemungkaran, maka cegahlah dengan tanganmu, apabila belum bisa, maka cegahlah dengan mulutmu, apabila belum bisa, cegahlah dengan hatimu, dan mencegah kemungkaran dengan hati adalah pertanda selemah-lemah iman ” HUKUM BERDAKWAH 1)       اَنْفِذْ عَلَى رَسُلِكَ حَتَّى تَنْزِلَ بِسَاحَتِهِمْ ثُمَّ اُدْعُهُمْ إِلَى الإِسْلاَمِ وَأَخْبِرْهُمْ بـِمَا يَجِبُ عَلَيْهِمْ مِنْ حَقِّ اللهِ فِيْهِ فَوَاللهِ لِأَنْ يَهْدِيَ اللهُ بِكَ رَجُلاً وَاحِداً خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ يَكُوْنَ لَكَ حُمْرُ النَّعَمِ )  (رواه البخارى) “Aj

Ayat dan Hadits Tentang Komunikasi Efektif

Bab I Pendahuluan Dalam perspektif Islam, komunikasi merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan manusia karena segala gerak langkah kita selalu disertai dengan komunikasi. Komunikasi yang dimaksud adalah komunikasi yang islami, yaitu komunikasi berakhlak al-karimah atau beretika. Komunikasi yang berakhlak al-karimah berarti komunikasi yang bersumber kepada Al-Quran dan hadis (sunah Nabi).  Dalam Al Qur’an dengan sangat mudah kita menemukan contoh kongkrit bagaimana Allah selalu berkomunikasi dengan hambaNya melalui wahyu. Untuk menghindari kesalahan dalam menerima pesan melalui ayat-ayat tersebut, Allah juga memberikan kebebasan kepada Rasulullah untuk meredaksi wahyu-Nya melalui matan hadits. Baik hadits itu bersifat Qouliyah (perkataan), Fi’iliyah (perbuatan), Taqrir (persetujuan) Rasul, kemudian ditambah lagi dengan lahirnya para ahli tafsir sehingga melalui tangan mereka terkumpul sekian banyak buku-buku tafsir.