Diskusi Tan Malaka. |
Giat Mendirikan Sekolah Rakyat
Para sejarawan mencatat Tan Malaka juga seorang aktivis pendidikan. Bagi dia, jalan menuju kemerdekaan Indonesia harus dibuka dengan mencerdaskan rakyat.
FOLLY AKBAR, Depok
---
MESKIPUN menggunakan bahasa Indonesia yang terbata-bata, paparan Harry A. Poeze tentang sosok Tan Malaka tetap menarik disimak. Harry adalah doktor dari Universitas Amsterdam yang ''bersentuhan'' dengan Tan Malaka sejak 1972. Saat itu dia menulis skripsi tentang Tan Malaka di kampus yang sama. Baca edisi pertama : Bisa Bersekolah di Belanda berkat Iuran Warga Sekampung
Dari penelitian panjang dan ketertarikannya terhadap sosok Tan Malaka yang terus berlanjut sampai sekarang, Harry sampai pada satu kesimpulan. ''Dia sudah berpikir maju di zaman itu (era penjajahan, Red),'' ujar Harry saat diskusiMerajut Kenangan, Jalan Sunyi sang Pejuang Republik di auditorium Gedung IX Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia (UI), Depok, Senin lalu (16/5).
Menurut sejarawan asal Belanda itu, Tan Malaka sampai memilih untuk meninggalkan gelar datuk yang disandangnya. ''Dia menilai gelar itu feodal,'' ujarnya. Padahal, dengan gelar itu, dia bisa saja menyelamatkan kehidupan pribadinya dari penjajah Belanda. Maklum, banyak kaum terpandang yang justru bekerja untuk kepentingan penjajah.
Uniknya, pemikiran progresif tersebut muncul sebelum Tan Malaka bersekolah di Belanda. Justru kemajuan berpikirnya itulah yang membuat pria kelahiran Nagari Pandam Gadang, Suliki, Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, 2 Juni 1897, tersebut bisa menempuh pendidikan di Negeri Kincir Angin itu.
Menurut Harry, keberangkatan Tan Malaka ke Belanda bukanlah untuk kepentingan pribadi. Dia belajar di Rijks Kweekschool, Haarlem, dengan tujuan mulia. Yakni, untuk mencerdaskan bangsanya. Itu terbukti setelah menempuh pendidikan, penulis buku Naar de Republiek Indonesia itu langsung mendirikan sekolah-sekolah. Baik di Sumatera Barat, Semarang, maupun Jawa Barat.
''Dia beri pendidikan dengan sistem yang berbeda dengan pendidikan Hindia Belanda. Dia membuat manusia berpikir sendiri dan kebebasan,'' kata Harry yang bukunya, Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik, dilarang oleh pemerintah Orde Baru. Sayangnya, imbuh Harry, Tan tidak sempat menulis teori pendidikannya secara lengkap.
Guru besar UI Zulhasril Nasir menambahkan, selain politik, tidak banyak yang tahu bahwa Tan Malaka merupakan aktivis pendidikan yang hebat. Selama ini sosoknya selalu diidentikkan dengan aspek politik dan ideologi komunis. ''Itu (soal aktivis pendidikan, Red) memang tidak banyak disinggung,'' ujar akademisi yang juga penulis buku Buku Tan Malaka dan Gerakan Kiri Minangkabau itu.
Padahal, dalam artikel SI (Serikat Islam) Semarang dan Orderwijs yang ditulisnya, Tan Malaka mencurahkan banyak kegelisahan dan kritik kerasnya terhadap dunia pendidikan di zaman Hindia-Belanda. Karena itu, dia mengaku tidak heran dengan giatnya Tan Malaka mendirikan sekolah rakyat. Sampai-sampai Tan harus ditangkap dan diasingkan.
Sejarawan Universitas Indonesia Agus Setiawan berharap konsistensi dan keteguhan pendirian Tan Malaka menjadi pelajaran yang diikuti generasi Indonesia. Terutama, di tengah era banyaknya politikus yang berpikir pragmatis dan cenderung tidak konsisten. "Kalau seorang tokoh sudah memilih satu jalan, itu yang akan dibawa sampai liang lahad," sentilnya. (*/c6/pri)
Para sejarawan mencatat Tan Malaka juga seorang aktivis pendidikan. Bagi dia, jalan menuju kemerdekaan Indonesia harus dibuka dengan mencerdaskan rakyat.
FOLLY AKBAR, Depok
---
MESKIPUN menggunakan bahasa Indonesia yang terbata-bata, paparan Harry A. Poeze tentang sosok Tan Malaka tetap menarik disimak. Harry adalah doktor dari Universitas Amsterdam yang ''bersentuhan'' dengan Tan Malaka sejak 1972. Saat itu dia menulis skripsi tentang Tan Malaka di kampus yang sama. Baca edisi pertama : Bisa Bersekolah di Belanda berkat Iuran Warga Sekampung
Dari penelitian panjang dan ketertarikannya terhadap sosok Tan Malaka yang terus berlanjut sampai sekarang, Harry sampai pada satu kesimpulan. ''Dia sudah berpikir maju di zaman itu (era penjajahan, Red),'' ujar Harry saat diskusiMerajut Kenangan, Jalan Sunyi sang Pejuang Republik di auditorium Gedung IX Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia (UI), Depok, Senin lalu (16/5).
Menurut sejarawan asal Belanda itu, Tan Malaka sampai memilih untuk meninggalkan gelar datuk yang disandangnya. ''Dia menilai gelar itu feodal,'' ujarnya. Padahal, dengan gelar itu, dia bisa saja menyelamatkan kehidupan pribadinya dari penjajah Belanda. Maklum, banyak kaum terpandang yang justru bekerja untuk kepentingan penjajah.
Uniknya, pemikiran progresif tersebut muncul sebelum Tan Malaka bersekolah di Belanda. Justru kemajuan berpikirnya itulah yang membuat pria kelahiran Nagari Pandam Gadang, Suliki, Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, 2 Juni 1897, tersebut bisa menempuh pendidikan di Negeri Kincir Angin itu.
Menurut Harry, keberangkatan Tan Malaka ke Belanda bukanlah untuk kepentingan pribadi. Dia belajar di Rijks Kweekschool, Haarlem, dengan tujuan mulia. Yakni, untuk mencerdaskan bangsanya. Itu terbukti setelah menempuh pendidikan, penulis buku Naar de Republiek Indonesia itu langsung mendirikan sekolah-sekolah. Baik di Sumatera Barat, Semarang, maupun Jawa Barat.
''Dia beri pendidikan dengan sistem yang berbeda dengan pendidikan Hindia Belanda. Dia membuat manusia berpikir sendiri dan kebebasan,'' kata Harry yang bukunya, Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik, dilarang oleh pemerintah Orde Baru. Sayangnya, imbuh Harry, Tan tidak sempat menulis teori pendidikannya secara lengkap.
Guru besar UI Zulhasril Nasir menambahkan, selain politik, tidak banyak yang tahu bahwa Tan Malaka merupakan aktivis pendidikan yang hebat. Selama ini sosoknya selalu diidentikkan dengan aspek politik dan ideologi komunis. ''Itu (soal aktivis pendidikan, Red) memang tidak banyak disinggung,'' ujar akademisi yang juga penulis buku Buku Tan Malaka dan Gerakan Kiri Minangkabau itu.
Padahal, dalam artikel SI (Serikat Islam) Semarang dan Orderwijs yang ditulisnya, Tan Malaka mencurahkan banyak kegelisahan dan kritik kerasnya terhadap dunia pendidikan di zaman Hindia-Belanda. Karena itu, dia mengaku tidak heran dengan giatnya Tan Malaka mendirikan sekolah rakyat. Sampai-sampai Tan harus ditangkap dan diasingkan.
Sejarawan Universitas Indonesia Agus Setiawan berharap konsistensi dan keteguhan pendirian Tan Malaka menjadi pelajaran yang diikuti generasi Indonesia. Terutama, di tengah era banyaknya politikus yang berpikir pragmatis dan cenderung tidak konsisten. "Kalau seorang tokoh sudah memilih satu jalan, itu yang akan dibawa sampai liang lahad," sentilnya. (*/c6/pri)
Comments
CERITA YANG BENAR BENAR TERJADI (ASLI) BUKAN REKAYASAH!!!
TERIMA KASIH BANYAK MBAH SERO SUDAH 3 TAHUN SAYA MENDERITA DI MALAYSIA KERJAAN SAYA CUMA MENOMBAK KELAPA SAWIT PENDAPATAN TIDAK SEBERAPA SEDANKAN SEWAH KONTRAKAN RUMAH 700 RIBU PERBULAN TAPI SETELAH KAMI DAPAT NOMOR MBAH DI INTERNET KAMI COBA-COBA HUBUNGI LALU MINTA BANTUAN ANGKA GHOIB DAN ALHAMDULILLAH ANGKA YANG DIBERI MBAH SERO LANSUNG TOTO 6D BENAR-BENAR 100% TERBUKTI TEMBUS SEKALI LAGI TERIMA KASIH MBAH SERO RENCANA MAU PULANG KE INDO BUKA USAHA INI SEMUA BERKAT BANTUAN ANGKA GHOIB MBAH SERO BAGI ANDA YANG INGIN MERUBAH NASIB SEPERTI SAYA HUBUNGI MBAH SERO DI NOMOR 082 370 357 999 TERIMA KASIH..!!! INI KISAH NYATA DARI SAYA..