Awal bulan April lalu menandai tiga tahun saya menjalani profesi ini. Profesi sebagai seorang Jurnalis. Tiga tahun menjalani pekerjaan yang fantastis.
Namun, sebelum menceritakan pengalaman tiga tahun di lapangan, saya mau memberi sedikit latar belakang, kenapa saya bisa terjun di dunia ini. Karena semua ada alasannya.
Jadi gini. Dunia media, sebetulnya bukan dunia yang baru bagi saya. Sebab, dunia itu sangat melekat bagi anak seorang loper koran seperti saya. Sejak saya lahir, sekeliling saya memang sudah penuh akan berita. Semuanya berserakan. Dari banyak koran, majalah, tabloid sisa jualan bapak.
Tiap hari, sejak lancar membaca, saya hampir selalu baca dari sisa koran yang tidak terjual. Biasanya sore hari, sambil menemani bapak istirahat.
Karena saking biasanya, pernah suatu sore, sekitar kelas empat SD, saya nangis saat bapak pulang tidak membawa sisa koran. Sebetulnya aneh, mestinya saya senang jika dagangan bapak habis.
Namun saya punya alasan tersendiri. Saat itu, saya sebal tidak tahu hasil pertandingan AC Milan pekan itu. Padahal, saya sudah menanti sampai sore. Kala itu, bapak memang pulang agak terlambat karena hujan lebat. Istilahnya, sudah lama menanti ternyata zonk.
Maklum saja, dulu saya belum punya akses jaringan internet yang bisa menyuguhkan hasil pertandingan bola secara update. Dan sisa koran jualan bapak adalah sumber informasi saya.
Intinya, kalau boleh lebay dikit, dunia jurnalisme adalah hidup saya. Dari dunia inilah, bapak memberi makan saya, membesarkan saya, membangun rumah tempat saya tinggal, dan menyekolahkan saya sampai sarjana.
Dari situlah, kira-kira, embrio keinginan untuk memiliki profesi sebagai Jurnalis muncul. Dan itu semakin diperkuat dengan iklan dana BOS (Bantuan Operasional Siswa) yang banyak tayang di stasiun televisi era itu.
Salah satu dialognya kira-kira mengatakan, "anak loper koran bisa jadi wartawan" dengan adanya dana bantuan pendidikan. Entah mengapa, iklan itu benar-benar melekat di keluarga saya. Mamah saya sering mengulang-ulang kata itu.
Hingga akhirnya, saat memilih jurusan kuliah, aku pun memilih prodi Komunikasi Penyiaran Islam di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Jurusan dengan konsentrasi jurnalistik di kampus islam.
Di UIN, saya banyak bergelut di Pers Mahasiswa Arena. Menulis adalah bagian dari kegiatan saya saat kuliah. Banyak artikel yang saya kirim ke koran. Baik lokal maupun nasional.
Di Arena, pemahaman saya soal jurnalisme sedikit bergeser. Jurnalis bukan melulu soal cita-cita. Jalan ini juga saya ambil sebagai medium mengaktualisasikan tanggung jawab saya sebagai warga negara. Fungsi edukasi dan sosial kontrol media, menjadi wadah saya memberikan sumbangsih bagi Republik.
Dan setelah menyelesaikan skripsi, saya mulai menapaki jalan ke media mainstream. Dan Jawa Pos menjadi kapal saya mengarungi "sisi lain" dari dunia yang erat dengan saya sejak kecil. Di sinilah, tiga tahun sebagai Jurnalis saya jalani.
Jurnalis Kerjaan Fantastis
Seperti diawal, saya menyebut pekerjaan ini fantastis. Ada banyak hal menarik dari profesi ini.
Pertama, meski melelahkan, pekerjaan ini tidak membosankan. Sebab, setiap hari, selalu ada hal baru yang saya peroleh. Baik berupa pengetahuan, pengalaman, ataupun kerabat baru.
Tapi itu belum lah apa-apa. Yang paling fantastis dari profesi ini, saya bisa melakukan hal yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan. Apalagi, melakukannya.
Sebagai contoh, saya pernah hidup bersama pasukan elit "Kopaska" TNI AL di tengah laut berhari-hari. Bayangkan, kalau bukan karena jurnalis, mustahil saya bisa melakukannya. Bahkan, kalau saya punya banyak sawah di kampung, saya belum tentu bisa mendapatkan pengalaman itu. Hehe
Atau, pengalaman menyusuri belantara hutan Kalimantan. Menembus sungai di pedalaman untuk sampai di perbatasan Malaysia. Coba bayangkan, apa mungkin saya sampai kesana kalau bukan sebagai Jurnalis? Rasanya sulit. Kalau saya punya banyak toko usaha pun belum tentu sampai sana. Hehe
Atau, duduk satu meja bersama Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL), Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) di waktu yang bersamaan. Ini gila. Kalau bukan karena ID Pers, saya tidak mungkin berani melakukannya. Bahkan, kalau saya punya lima mobil sekalipun. Hehe
Atau, bisa melihat para menteri saling bersenda gurau sebelum rapat kabinet. Menyaksikan Menteri Kelautan Bu Susi digodain Menteri Tenaga Kerja Pak Hanif. Rasanya, saya punya rumah tiga pun belum tentu bisa dapat kesempatan itu. Atau mencicipi pesawat kepresidenan!
Itu hanya contoh. Ada banyak pengalaman aneh dan unik yang saya rasakan tiga tahun ini, yang tidak mungkin saya sebut satu persatu. Intinya, ini pekerjaan yang fantastis, meski tidak membuat saya kaya raya.
Jurnalis membuat saya bisa masuk ke semua lini kehidupan. Dari tempat paling kumuh, hingga tempat paling mewah. Dari warga dengan status sosial bawah, hingga pejabat dengan status sosial tinggi. Aku fikir, tidak ada profesi lain yang demikian.
Eits, ini belum selesai. Ini baru aspek keseruan. Masih banyak hal yang belum saya bahas. Khususnya terkait bagaimana nikmatnya ketika produk jurnalistik kita berdampak pada perubahan sosial yang positif. Tunggu sesi selanjutnya!!
Eits, ini belum selesai. Ini baru aspek keseruan. Masih banyak hal yang belum saya bahas. Khususnya terkait bagaimana nikmatnya ketika produk jurnalistik kita berdampak pada perubahan sosial yang positif. Tunggu sesi selanjutnya!!
Comments