Tingginya kebutuhan donor trombosit yang tidak sebanding dengan suplai membuat ”perdagangan gelap” kerap terjadi. Himpunan Pendonor Darah Apheresis hadir tanpa bayaran untuk memenuhi kebutuhan darah para penderita kanker, talasemia, dan penyakit hematologi lainnya.
FOLLY AKBAR, Jakarta
---
PERJALANAN itu mempertemukan Nurirwansyah Putra dengan Ilham. Balita pengidap hidrosefalus tersebut membutuhkan darah AB untuk operasi.
Namun, karena darahnya B, di tengah keterdesakan itu, Nur mencari-cari rekannya yang berdarah AB untuk donor trombosit bagi balita yang sedang dirawat di RSUP dr Mohammad Hoesin Palembang, Sumatera Selatan, tersebut. Berhasil.
”Kabar itu merambat ke tetangganya. Dia bilang Mas Nur bisa bantu-bantu cari darah,” tutur Nur yang sehari-hari mengelola usaha event organizer, lantas tertawa kecil.
Dari sanalah ide untuk menggalang berdirinya Himpunan Pendonor Darah Apheresis berasal. Kebetulan, sejak 2012, Nur yang kala itu masih mahasiswa memang aktif membantu masyarakat miskin yang berurusan dengan fasilitas kesehatan untuk pengobatan.
Sejak saat itu, Nur memantapkan diri untuk membantu memenuhi kebutuhan donor trombosit di Palembang. Apalagi, dia sadar belum banyak darah trombosit di kotanya yang diberikan kepada masyarakat umum.
Berbeda dengan donor darah merah biasa, donor trombosit atau apheresis jauh lebih spesifik. Pendonor harus memenuhi syarat fisik, nilai Hb, nilai Ht, jumlah trombosit bila trombosit yang akan diambil, potensi kandungan penyakit menular, hingga ukuran urat darah.
Selain itu, sistem pengambilannya berbeda. Untuk donor biasa, petugas mengambil darah secara utuh dan diberikan kepada pasien. Sementara itu, dalam donor apheresis, sistemnya menggunakan transfusi seperti cuci darah.
Hanya trombosit dan plasma yang diambil, sedangkan darah merah dikembalikan ke tubuh. Karena itu, secara medis, bobot donor apheresis jauh lebih berat daripada donor biasa.
Pengambilannya pun enam kali lebih lama daripada donor darah biasa. Jika donor biasa hanya memerlukan 10–15 menit, donor trombosit membutuhkan waktu lebih dari satu jam. Tusukan jarum juga lebih besar.
Spesifikasinya yang tidak mudah itu membuat donor apheresis tidak banyak dilakukan masyarakat. Padahal, kebutuhannya sangat tinggi.
Nur menceritakan, rendahnya donor apheresis memberikan efek domino. Kebutuhannya kerap dipenuhi di ”pasar gelap” oleh para calo. Bahkan, tak jarang ada pihak yang mengomersialkan dengan harga fantastis.
Berdasar informasi yang didapat, donor apheresis bisa dihargai Rp 2 juta–Rp 3 juta. Bagi kalangan menengah ke bawah, itu sangat memberatkan. ”Kalau di kami, hitung-hitungannya dengan Yang di Atas saja (gratis),” tuturnya.
Hampir delapan tahun berjalan, Himpunan Pendonor Darah Apheresis yang didirikan Nur telah memiliki 167 anggota. Mereka semua yang masuk telah melalui skrining untuk memastikan kualitas darah dan kondisi fisiknya memenuhi syarat. Jika tidak, dia akan mengarahkan ke donor darah biasa.
Dalam sebulan, komunitas bisa memberikan hingga 30 pendonor apheresis kepada para penderita penyakit hematologi seperti kanker, talasemia, dan leukemia. Karena intensitas yang tinggi, banyak anggotanya yang sudah mendonorkan trombosit lebih dari 100 kali.
”Saya pun sudah lebih dari 150 kali donor,” kata lulusan ilmu hukum itu. Saking seringnya tertusuk jarum, sebagian tangan Nur dan rekannya sudah keloid. Nur saat ini hanya bisa mendonorkan lewat tangan kirinya.
Mencari 167 anggota pendonor trombosit, lanjut Nur, bukanlah perkara mudah. Apalagi, banyak rumor negatif yang berseliweran. Misalnya, berbahaya bagi tubuh dan menimbulkan efek penyakit. Alhasil, banyak kerabatnya yang menolak bila dihubungi Nur. ”Takut diminta darahnya,” ujarnya, lantas tertawa.
Namun, Nur punya cara tersendiri untuk menambah anggota. Biasanya, dia mengajak orang-orang yang diincar untuk datang ke rumah sakit melihat pasien. Di sana, banyak rasa iba yang muncul sehingga terketuk untuk membantu. ”Saya bilang pasien nggak butuh kasihan. Dia butuh donor darah,” tegasnya.
Selain kerabat, anggota datang dari keluarga pasien yang pernah dibantu. Sadar akan sulitnya mengakses donor trombosit, kata Nur, banyak keluarga mantan pasien yang terketuk untuk membalas budi dengan berbuat baik kepada orang lain.
Cara kerja komunitas ini tidak terlalu struktural yang formal. Siapa pun bisa menghubungi anggota komunitas jika membutuhkan. Nanti Nur mencarikan anggota yang bersedia. Sebab, ada jarak waktu dua pekan sebelum bisa melakukan donor ulang. Selain itu, menyesuaikan kesibukan pribadi.
Berbeda dengan donor darah biasa yang bisa distok hingga sebulan, donor darah trombosit harus fresh. Sebab, masa kedaluwarsa trombosit tidak lama. Hanya satu–dua hari. ”Jadi, kita sistem stand by saja,” tutur Nur.
Dia juga memastikan bahwa semua darah yang diberikan anggotanya gratis. Bahkan, kebutuhan untuk memulihkan kondisi fisik seperti asupan gizi ditanggung masing-masing. Sejak awal, komunitas ini memang berbasis sukarela.
”Kalau punya kegiatan, kami iuran. Kami nggak minta sponsor, nggak minta pemerintah. Paling yang ekonomi berkecukupan membantu lebih,” jelasnya.
Meski sudah berjalan cukup baik, Nur berharap semakin banyak orang yang mau menyumbangkan trombosit. Dengan stok pendonor yang bertambah, intensitas tiap anggota bisa berkurang. Sebab, meski secara medis dapat dilakukan dua pekan sekali, praktiknya cukup berat.
”Paling tidak biar kami yang biasanya siklusnya donor dua pekan sekali jadi sebulan sekali,” tutur Nur.
Apalagi, cakupan permintaan donor ke Nur saat ini tidak hanya datang dari Palembang, tapi juga kabupaten/kota di Sumatera Selatan dan provinsi sekitarnya.
Di masa pandemi, lanjut Nur, komunitasnya juga aktif memberikan donor plasma konvalesen bagi penderita Covid-19 yang mengalami gejala parah. Kebetulan, sebagian anggota juga berstatus penyintas Covid-19.
Meski tidak mudah, Nur puas atas apa yang dijalaninya. Bagi dia, memberikan pertolongan merupakan kesenangan tersendiri. Sebab, donor darah juga menjadi jalan bagi dia untuk mengenal dan menjiwai kemanusiaan secara universal.
”Kami nggak pernah berbicara ras. Itu yang paling enak. Pendonor kami lintas agama. Semua sepakat kemanusiaan,” ujarnya. (*/c19/ttg)
Tulisan ini terbit di Harian Jawa Pos edisi 6 Oktober 2021
Comments