Judul Buku :
Angkat Pena Demi Dialog Papua
Penulis : Neles Kebadabi Tebay
Penerbit :
Institut DIAN/Infidei Yogyakarta
Tebal : xlix + 273 Halaman
Cetakan :
Pertama, 2012
Harga :
Rp. 65. 000
Ketika Indonesia merdeka pada tahun 1945, Papua
atau dulu dikenal dengan sebutan Irian Jaya belum tercatat sebagai wilayah kekuasaan
Negara Kesatuan Republik Indonesia(NKRI). Berdasarkan catatan sejarah,
detik-detik masuknya Papua ke NKRI di mulai pada 1 oktober 1962. Ketika itu
pemerintah Belanda di Irian Barat menyerahkan wilayah ini kepada Perserikatan
bangsa-bangsa(PBB) melalui United Nations Temporary Executive Authority(UNTEA)
hingga 1 mei 1963 bendera Belanda pun diganti bendera merah putih dan bendera
PBB.
Selajutnya, PBB merancang kesepakatan yang
dikenal dengan”New York Agreement” untuk memberikan kesempatan kepada
masyarakat Irian Barat melakukan jejak pendapat melalui pepera pada 1969 yang
diwakili 175 orang utusan dari delapan kabupaten saat itu. Hasil pepera
menunjukan rakyat Irian Barat setuju bersatu dengan pemerintah Indonesia.
Masuknya Papua ke NKRI nyatanya bukanlah awal
menuju masyarakat Papua yang adil dan sejahtera. Bahkan bisa kita katakan hanya
sebatas hitam di atas putih yang menadakan pulau berbentuk burung itu berada
dalam naungan republik Indonesia. Asumsi ini terindikasi dari kehidupan yang
nyaris tidak berubah. Perilaku diskriminasi yang didapatkan masyarakat Papua mulai
dari pendidikan, pelayanan, hingga pembangunan seolah menggambarkan sebuah
masyarakat yang belum”merdeka”.
Fakta diatas sangatlah kontradiktif dengan
kondisi geografis Papua yang menyimpan kekayaan alam yang melimpah. Deretan
enam bukit emas yang kini dikuasai freeport menjadi bukti kekayaan alam Papua.
Kemiskinan yang dialami masyarakat Papua bagaikan “tikus mati di lumbung padi”.
Dari sinilah cikal bakal konflik yang menggelayuti bumi cendrawasih.
Kesadaran generasi muda Papua akan kesenjangan
yang terjadi antara masyarakat Papua dengan masyarakat indonesia
lainya(terkhusus jawa), mengantarkanya pada sebuah pemberontakan. Sikap
separatis yang oleh Jakarta(dibaca:pemerintah pusat) ditanggapi dengan sikap
represif. Alhasil yang terjadi adalah kekerasan demi kekerasan yang terus
memakan korban.
Kegelisahan akan permasalahan diatas
menghantarkan Neles K Tebay untuk memulai menggoreskan pena-penanya. Dalam kurun
waktu 10 tahun(2001-2011), tercatat 54 artikel yang khusus berbicara mengenai konflik
Papua sudah tersebar diberbagai media nasional seperti The Jakarta Post,
Suara Pembaharuan, Kompas, Sinar Harapan, Majalah Tempo dan media lokal seperti Bintang Papua, Fajar Timur
dan media lainya. Kumpulan-kumpulan artikel itulah yang kini disulapnya menjadi
buku dengan judul “Angkat Pena Demi Dialog Papua”.
Dalam tulisan-tulisan tersebut Neles K Tebay memperlihatkan
apa sesungguhnya yang hidup di dalam sanubari orang-oramg Papua, apa
keprihatinan-keprihatinan mereka dan apa yang merupakan harapan-harapan mereka.
Khususnya dalam relasi Papua dengan Jakarta, tulisan-tulisanya ini memberikan
informasi yang memadai.
Kendati tulisan-tulisan ini, sebagaimana
diungkapkan oleh Neles K Tebay adalah pandangan pribadi, namun tidak bisa
disangkal bahwa pelbagai masalah yang muncul di tanah Papua mampu direfleksikanya
dengan baik. Beberapa tulisanya dirasa akan memiliki pengaruh penting bagi
proses damainya Papua, seperti tulisan yang berjudul “Mengubah Tanah Papua Menjadi
Tanah Damai” atau “Menyelesaikan Konflik Papua”. Tulisan itu
memperlihatkan betapa aktual apa yang ditulis dalam buku ini.
Dalam bukunya dia sangat mengutuk pendekatan
kekerasan yang selama ini dilakukan pemerintah pusat. Bahkan dalam artikelnya
yang berjudul “Papua Butuh Pendekatan Hati”, Neles K Tebay menganggap
bahwa kekerasan yang selama ini terus terjadi merupakan buntut dari sikap
represif yang dilakukan aparat. Fakta tersebut telah membuktikan bahwa
kekerasan negara apapun bentuknya dan betapapun mulia motivasnya dan luhur
tujuanya, tidak akan pernah berhasil menyelesaikan konflik Papua.
Pendekatan represif dengan mengerahkan militer
yang selama ini di lakukan pemerintah dinilai tidaklah efektif. Sebagai
solusinya, Neles K Tebay menawarkan “dialog terbuka Jakarta-Papua”, wacana
dialog dari hati ke hati yang sudah dimunculkan sejak Kongres Papua II yang
diselenggarakan di jayapura pada tahun 2000. Dalam sekapur sirih yang
ditulisnya, Neles K Tebay meyakini bahwa dialog merupakan cara orang modern,
demokratis dan beradab dalam mencari solusi terbaik atas masalah Papua.
Dalam beberapa tulisanya, Neles K Tebay juga mengkritik
sikap pemerintah dan aparat yang menganggap kata “dialog” sebagai istilah
“tabu” hanya karena diperkenalkan oleh orang Papua(hasil kongres papua tahun
2000 red.). Kata “dialog” dipandang pemerintah sebagai ekspresi separatisme Papua.
Akibatnya, banyak pihak ditanah Papua dan Jakarta enggan, untuk tidak
mengatakan takut, menggunakan istilah “dialog” dalam kaitan dengan masalah Papua.
Kini wacana dialog Papua berada dalam era
baru, hal ini tidak lepas dari statment presiden SBY yang secara terbuka mengumumkan
komitmenya menyelesaikan masalah Papua melaui dialog terbuka. “dialog antara
pemerintah pusat dan saudara kita di Papua ini terbuka. Kita mesti dialog,
dialog terbuka untuk cari solusi dan opsi langkah paling baik selesaikan
masalah Papua” kata SBY saat membuka rapat kabinet di kantor presiden Jakarta,
rabu(09/11/2011).
Sebagai putra Papua yang merindukan terjadinya
dialog, moment tersebut langsung dijawab Neles K Tebay dengan menerbitan buku “Angkat
Pena Demi Dialog Papua” di tahun 2012. Hal yang dilakukanya ini merupakan salah
satu upaya mendorong terwujudnya dialog Jakarta Papua.
Kembali ke permasalahan dialog, dalam era baru
ini kata “dialog” lebih terdengar nyaman di telinga orang. Justru yang menjadi
persoalan saat ini bukan lagi terganjal pada pro kontra perlu atau tidaknya,
melainkan pada taraf teknisnya mulai dari kapan, dimana dan bagaimana
pelaksanaanya.
Dalam menyikapi permasalahan di atas, Nelas K
Tebay dalam bukunya menjalaskan enam aspek fundamental tentang teknis
penyelenggaraan dialog dari perspektif orang Papua. Aspek yang pertama adalah
agenda dialog, Jakarta dan Papua harus menyepakati terlebih dahulu persoalan
apa saja yang harus di bahas dalam dialog tersebut. Lalu aspek kedua menyangkut
partner dialog, pemerintah harus memilih siapa yang menjadi partner dialog di Papua.
Selanjutnya aspek ketiga adalah tentang keterlibatan orang Papua dalam proses
dialog, Neles K Tebay menganggap pertisipasi orang Papua dalam keseluruhan
proses dialog adalah hal yang amat fundamental. Aspek keempat menyangkut
tahapan proses dialog, dalam aspek ini Neles K Tebay mengungkapkan bahwa ada
tiga tahap dialog yang perlu dilakukan 1). Dialog antar orang asli Papua di Papua,
2). Dialog antara orang Papua di Papua dengan yang di luar Papua. 3). Dialog antara wakil-wakil Papua dengan
pemerintah pusat.
Selanjutnya aspek kelima adalah keterlibatan
fasilitator, suatu dialog perlu dimediasi oleh pihak netral yang dipercayai
kedua belah pihak. Lalu aspek keenam berhubungan dengan perlunya pembentukan
team. Untuk mempersiapkan keseluruhan proses dari dialog tentang Papua
diperlukan dua team yang berasal dari pemerintah pusat dan dari orang Papua.
Neles K Tebay meyakini jika enam aspek diatas
mampu dilaksanakan pemerintah pusat, maka dialog sebagai solusi menyelesaikan
konflik Papua akan berjalan efektif. Sebagai inti dari buku tersebut adalah
tinggalkan pendekatan kekerasan dan lakukanlah dialog dari hati kehati antara Jakarta-Papua.
Adapun mengenai kekurangan yang ada dalam buku
ini, secara teknis saya merasa beberapa artikel yang di tulis dengan bahasa inggris
tentu akan sedikit menyulitkan bagi pembaca yang tidak memiliki kemampuan
bahasa inggris yang memadai. Adapun dari segi isi, ditemukanya banyak
pembahasan atau kalimat yang terus menerus diulang dari artikel satu ke artikel
lainya berpotensi memberikan efek kebosanan bagi pembacanya.
Namun diluar kekurangan diatas, buku ini
sangat baik untuk dibaca bagi siapa saja yang ingin mengetahui kondisi atau
akar dari konflik Papua. Terlebih bagi anda yang tidak menginginkan generasi
anda dicatat sejarah sebagai generasi yang gagal menjaga NKRI. Harapanya dengan
membaca buku ini, informasi-informasi yang di sajikan Neles K Tebay mampu
dijadikan referensi dalam upaya memecahkan permasalahan papua secara
bersama-sama. Papua mu, Papua ku dan Papua kita semua.
Comments