Pegelaran pesta sepak bola Se-Asia Tenggara yang di kenal dengan sebutan
piala AFF tinggal menghitung minggu. Turnamen yang akan berlangsung di Malaysia-Thailand
pada akhir November 2012 tersebut menempatkan 8 timnas terbaik dari berbagai
negara di kawasan ASEAN.
Disaat negara tetangga terfokuskan untuk mempersiapkan kekuatan terbaik
mereka, hal yang berbeda terjadi di tanah air. Konsentrasi pembentukan timnas
harus berbagi dengan konsentrasi penyelesaian konflik PSSI. Sebagian kekuatan
bangsa habis hanya untuk menyaksikan kisruh dualisme yang belum juga menemukan
titik temu. Penandatangan MOU perdamaian yang dilakukan beberapa waktu lalu
bagaikan minuman yang melepaskan dahaga sesaat, sebelum kembali meracuni
seluruh tubuh kita.
Untuk pertama kalinya sepanjang sejarah, Indonesia memiliki dua tim
nasional senior. Kondisi ini merupakan puncak gunung es perseturuan antara PSSI
dibawah kendali Djohar dengan kelompok KPSI dibawah komando La Nyala Mataliti
yang kini ber-evolusi menjadi PSSI versi KLB Ancol. Yang menjadi pertanyaan,
timnas manakah yang lebih layak mewakili indonesia?
Jika kita melihat dari segi legitimasi, tentu timnas
asuhan Nil Maizar bentukan PSSI yang lebih berhak mewakili Indonesia. Seburuk apapun
kinerja PSSI saat ini, dimata AFC ataupun FIFA mereka merupakan institusi yang
legal. Tapi yang menjadi persoalan, kita sebagai pengamat sepak bola nasional
tentu mengakui jika skuad Nil Maizar yang bermaterikan pemain IPL kurang
kompetitif untuk mengarungi turnamen sekaliber piala AFF. Kekalahan 10-0 dari Bahrain
menjadi tolak ukur untuk melihat kedalaman skuad yang ada. Tentu ini menjadi
tidak ideal untuk di turunkan, mengingat bangsa indonesia sudah sangat haus
akan gelar internasional.
Nah jika kita melihat dari kaca kualitas, tentu kita sepakat jika Timnas di
bawah asuhan Alfred Riedl yang bermaterikan pemain ISL jauh lebih meyakinkan. Nama-nama
langganan timnas dengan pengalaman internasional yang tinggi tentu akan lebih
menjanjikan untuk mewujudkan mimpi kita merebut titel juara piala AFF yang
hingga saat ini belum kita rasakan. Tapi yang menjadi persoalan, sehebat dan
sekuat apapun tim ini jika tidak memiliki legitimasi, maka hanya akan menjadi
sesuatu yang sia-sia.
Jika kita berbicara idealnya, tentu kita menginginkan kedua timnas itu
bersatu menjadi sebuah kekuatan besar yang memiliki legitimasi. Tapi hal
tersebut bagaikan mimpi di siang bolong jika kita melihat perkembangan hingga
saat ini dimana masing-masing timnas berjalan sendiri-sendiri.
Jika hingga berlangsungnya pegelaran AFF kondisi persepakbolaan nasional
tidak mengalami perubahan, besar kemungkinan Indonesia kembali menunda mimpinya
untuk menyandang raja ASEAN. Cita-cita untuk mensejajarkan diri dengan Thailand,
Singapura, Vietnam ataupun Malaysia yang telah merasakan manisnya tangga juara
pun akan semakin lama kita nantikan. Dan pada akhirnya kita harus mengakui
keadaan yang mengatakan bahwa level negara kita hanya sejajar dengan Filipina,
Myanmar atau mungkin Timor Leste yang merupakan suadara muda kita.
Tentu yang menjadi harapan terakhir kita adalah adanya kongres besar yang
menurut jadwal akan diselenggarakan pada tanggal 24 september besok. Dengan
adanya moment duduk bersama tersebut diharapkan kita semua kembali bisa saling
bahu membahu memajukan sepak bola indonesia. Dan konflik yang sudah akan
menginjak angka 2 tahun lamanya segera berakhir tanpa pernah muncul kembali.
Comments