Beberapa hari lagi, peristiwa sumpah pemuda
yang dideklarasikan pada 28 oktober 1928 akan menyentuh usia 84 tahun. Di usia
yang sudah tidak muda tersebut, semangat sumpah pemuda perlahan mulai tergerus
arus modernitas dengan segala keglamoranya. Poin-poin yang ditelurkan sumpah
pemuda, semakin sulit untuk diterapkan dalam kehidupan.
Hingga tahun 2010, jumlah populasi remaja
dan pemuda di Indonesia mencapai 63,4 juta. Jumlah tersebut meningkat dua kali
lipat di banding tahun 1970-an(34 juta). Saat ini separuh dari mereka hidup di
derah perkotaan. Di tengah kepengapan ruang yang semakin sempit, mereka hidup
berkelompok dan berkompetisi di tengah tekanan hidup yang semakin berat.
Sejarah mencatat pemuda memiliki peran yang
strategis dalam setiap perubahan sosial. Peristiwa sumpah pemuda, runtuhnya
orde lama, malaria 67, hingga reformasi 98 merupakan momen-momen penting yang
tidak pernah lepas dari peran pemuda. Tapi jika kita berkaca pada konteks saat
ini, prestasi yang diberikan pemuda tidak lebih banyak dari persoalan yang dibuatnya.
Permasalahan yang pertama adalah tawuran. Masih
teringat dalam ingatan kita bagaimana brutalnya aksi tawuran antar SMP dan SMA
di Jakarta akhir-akhir ini. Merujuk pada data komisi perlindungan anak,
sepajang tahun lalu saja telah terjadi 339 tawuran antar pelajar yang
mengakibatkan 82 korban tewas. Aksi tawuran merupakan konfrontasi horizontal
yang tidak produktif dan tidak sejalan dengan semangat sumpah pemuda.
Persoalan tawuran pelajar bukan lagi
menjadi urusan sekolah, tapi sudah menjadi masalah sosial. Tak perlu malu
mengakui jika pendidik gagal membaca gejolak pikiran siswa. Para orang tua tak
tanggap merespons kondisi di komunitas lingkungan rumah. Guru, kepala sekolah
dan petugas keamanan yang gagal menciptakan lingkungan nyaman belajar di sekolah.
Semua itu adalah kesalahan berjamaah yang perlu ditangani serius.
Permasalahan kedua adalah kebrutalan geng
motor yang meresahkan masyarakat. Geng-geng semacam ini tumbuh subur akibat
semakin sempitnya ruang edukatif yang ada dalam sebuah kota. Mereka tidak hanya terjerumus pada ikatan solidaritas sesama anggota geng, tapi juga
terperangkap dalam kesesatan berfikir, yaitu “bangga bila ditakuti dan disebut
jagoan”.
Permasalahan yang ketiga adalah narkoba.
Adanya data yang menyebutkan sebagian pengguna narkoba berasal dari kalangan
pelajar dan mahasiswa adalah pukulan telak bagi para pemangku kebijakan.
Pengampunan yang diberikan SBY kepada terdakwa pengedar narkoba hanyalah bukti
kecil tidak konsistenya pemerintah dalam memberantas narkoba. Padahal kita akui,
sebagian besar kejahatan bermula dari barang haram tersebut, seperti yang
dilakukan Novi Amelia baru-baru ini.
Dan yang terakhir adalah free sex
atau seks bebas. Banyak penelitian yang mengatakan bahwa lebih dari 80 persen
remaja atau mahasiswi di berbagai kota besar sudah tidak perawan. Diluar
keabsahan data tersebut, angka sebesar itu telah menjelaskan betapa buruknya
cara bergaul pemuda saat ini.
Keempat permasalahan diatas hanyalah
sebagian persoalan yang diakibat ulah pemuda. Kontribusi pemuda dalam menambah
persoalan di republik ini bukanlah kondisi ideal. Untuk keluar dari situasi
ini, diperlukan transformasi total yang bersifat integratif oleh semua pihak
untuk menciptakan lingkungan yang sehat baik di keluarga, komunitas maupun
sekolah/kampus. Dan sejenak merenungkan apa yang telah dideklarasikan dalam
sumpah pemuda sebagai bahan merevitalisasi semangat sumpah pemuda.
Comments