Di
era modern, kita harus mengakui jika sepak bola bukanlah rutinitas olahraga
ataupun ajang meraih prestasi semata, tapi kini sepak bola telah berevolusi
menjadi sebuah industri. Hal ini tidak lepas dari posisi sepak bola sebagai olahraga
terpopuler di seluruh dunia. Dan konsekuensi logis dari kondisi ini adalah
sepekbola harus dikelola secara professional.
Di
Indonesia sendiri, upaya menuju industri sepak bola masih jauh dari harapan,
khususnya dari segi finansial. Pasca penghentian dana APBD, kendala finansial
menjadi problem laten yang menggelayuti hampir semua klub. Tidak hanya
ditingkat amatir, bahkan klub sekelas ISL(Indonesian Super League) dan IPL(Indonesian
Primier League) yang notabenya berada di
kasta tertinggi sepak bola Indonesia pun tidak luput dari problem tersebut.
Jika
kita melihat begitu besarnya antusias masyarakat terhadap sepak bola,
semestinya tidaklah sulit menciptakan industri sepak bola di Indonesia. Asalkan
kompetisi di kelola secara baik. Tentu kita ingat, beberapa waktu lalu salah
seorang pengusaha Indonesia, Erick Thohir menamkam sahamn di salah satu klub
Major league soccer(MLS) DC United. Langkah Erick tersebut memperpanjang daftar
pengusaha Indonesia yang memilih berinvestasi di klub luar negeri. Setelah
sebelumnya ada keluarga Bakrie yang menanamkan sahanmnya di klub CS Vise Belgia
dan Brisbane Roar yang merupakan salah satu klub papan atas Australia.
Tentu
yang menjadi pertanyaan kita bersama, mengapa Erick thohir lebih memilih
menggelontorkan dana segarnya untuk klub Amerika dari pada klub Indonesia?
Sebagai seorang pengusaha, kaca mata bisnis tentu menjadi pertimbangan utama
Erick. Dengan menjatuhkan pilihan kepada DC United, kita bisa memahami jika
berinvestasi di MLS lebih menguntungkan dibanding ISL ataupun IPL. Padahal di Amerika
popularitas sepak bola masih kalah di banding basket dengan NBAnya yang
terkenal di seluruh dunia. Dengan popularitas yang terbatas, nyatanya MLS
sanggup menciptakan industri sepak bola. Lalu mengapa Indonesia dengan modal
masyarakat gila bola tidak sanggup melakukan hal yang sama? Tentu ada yang
salah dalam pengelolaanya, dalam hal ini PSSI sebagai induk sepak bola
Indonesia.
Ditengah
upaya manajemen klub meniti pembangunan profesionalitas, mereka harus terganggu
dengan konflik di tubuh PSSI yang dalam dua tahun belakangan belum menemukan
kata damai. Suka tidak suka, kita harus mengakui jika konfrontasi PSSI-KPSI
memberikan dampak negatif bagi klub. Konflik yang mengikis antusias mayarakat
yang seyogyanya mulai tumbuh kembali pasca AFF 2010. Konflik yang membuat
pengusaha semakin enggan untuk berinvestasi. Dalam hal ini, pemain dan klub
menjadi korban atas keangkuhan segelintir orang yang mengklaim ingin memajukan
sepak bola Indonesia.
Celakanya
ketiga klub DIY yakni PSS, PSIM dan Persiba tidak luput dari problem finansial.
Ditengah problem yang tak terselesaikan tersebut, adanya isu yang mengatakan
manajemen klub “menodong” para pengusaha sangatlah memperihatinkan.
Bagaimanapun caranya, memaksa bukanlah pilihan yang baik. Adanya wacana yang
menyebutkan pendirian satu klub DIY yang dulu pernah digelontorkan rasanya
perlu dipertimbangkan kembali. Memiliki satu klub yang menjanjikan tentu lebih
ideal dibading memiliki tiga klub yang terseok-seok. Tidak hanya itu, semua
insan sepak bola DIY pun akan lebih fokus menata satu klub. Dan itu akan menarik
bagi investor, seperti yang kini dirasakan Persib Bandung.
Ditengah
kegalauan finansial yang melada klub Indonesia, hal berbada justru di alami
Persib. Dalam dua tahun terakhir, persib menjadi salah satu klub yang paling
stabil. Hal ini tidak lepas dari banyaknya sponsor yang mampu digaet manajemen
persib. Harus diakui, modal utama Persib menggaet banyak sponsor adalah
besarnya dukungan bobotoh yang tersebar di seluruh wilayah Jawa Barat. Dengan
wilayah dan jumlah penduduk yang besar, hanya ada satu klub asli Jawa Barat(Pelita Badung Raya klub Nomaden) yang
mewakilinya di pentas tertinggi sepak bola. Sehingga perhatian seluruh
masyarakat Jawa Barat terfokus pada persib. Fakta itu jelas menggiurkan bagi
para pengusaha di Jawa Barat.
Melihat fakta tersebut, tidak ada salahnya jika
DIY meniru apa yang terjadi di Jawa Barat. Merger PSIM, PSS dan Persiba lebih
dari cukup untuk menciptakan klub DIY yang menjanjikan. Dan yang terpenting, dengan
adanya satu klub saja, para pengusaha di DIY tidak lagi bingung untuk memilih
PSIM, PSS atau Persiba sebagai tempat mereka berinvestasi.Tulisan ini pernah dimuat Harian Jogja Edisi Selasa, 19 Februari 2013
Comments