Kisruh
yang melanda Partai Demokrat dalam beberapa tahun terakhir, kini mencapai hasilnya
kala eleksibitas partai jawara pemilu 2009 tersebut dibawah 10%. SBY
selaku Ketua Majelis
Tinggi Partai pun “tergoda” untuk turun tangan
mengurai keruwetan yang melanda demokrat. Adalah hal lumrah jika seorang Ketua Majelis Tinggi turut menyelesaikan
persolan partai. Tapi akan menjadi persoalan jika dia ternyata
seorang presiden. Tentu loyalitas presiden terhadap Negara patut dipertayakan.
Apapun
sistem yang di anut sebuah negera, Presiden selalu ditempatkan sebagai milik
masyarakat, bukan milik partai. Jadi sangatlah wajar jika masyarakat
memprotes(dibaca: Cemburu) kala presidenya disibukan untuk menyelesaikan persoalan partai.
Karena faktanya, masih banyak persoalan bangsa yang belum SBY selesaikan.
Mendahulukan kepentingan kelompok dari pada kepentingan Negara bukanlah
perilaku yang pantas dilakukan presiden. Terlebih SBY pernah menegur para
menteri untuk lebih fokus menjalankan tugas Negara dibanding mempersiapkan partainya
guna pemilu 2014 mendatang.
Berbicara
loyalitas negarawan yang ideal, kita bisa merujuk pada ucapan Mantan Presiden Persemakmuran
Filipina, Manuel L. Quezon. “my loyalty
to my party ends where my loyalty to my country begins” yang artinya
loyalitas saya kepada partai(kelompok) berakhir, begitu saya memulai loyalitas
saya kepada Negara. Pernyataan itu
juga diucapkan presiden Amerika ke-35 John F. Kennedy pada acara pelantikanya.
Berbakti
atau loyal kepada partai seyogyanya bukanlah hal yang sepenuhnya salah, karena
memang ada Politik Balas Jasa(ethic) yang tidak bisa dilupakan seorang kader
terhadap partainya. Tapi kembali kepada ungkapan Manuel L Quezon, semua itu
harus berakhir kala dia dipercaya untuk memimpin bangsanya. Disinilah
pentingnya seorang negarwan menyadari posisi dimana dia berdiri. Mendahulukan
kepentingan bangsa adalah hal fundamental yang tidak bisa ditawar. Sayangnya
hal demikian masih sulit untuk dilakukan para pemimpin kita, tak terkecuali
SBY.
Kondisi
demikian menuntut wacana presiden dari kalangan independen yang selama ini
mengudara perlu segera direalisasikan. Selama ini, mimpi memiliki presiden yang
independen selalu terbentur pada UUD 1945 pasal 6 ayat 2. Pasal tersebut menyatakan bahwa pasangan
calon presiden dan wakil presiden harus diusulkan partai politik atau gabungan
parpol peserta pemilu. Tapi jika merujuk pada hasil survei Lembaga Survei Indonesia(2007) yang menyatakan 64,3%
masyarakat berharap Presiden dari tokoh independen, ada baiknya MK menguji materialkan. Karena angka 64,3% cukup merepresentasikan apa yang
di kehendaki rakyat. Jika Indonesia merasa sebagai Negara demokrasi, nampaknya
sudah tidak ada alasan untuk menunda keinginan masyarakat. Terlebih keinginan
tersebut memiliki alasan yang kuat.
68
tahun sudah Indonesia merdeka, tubuh kepemimpinan bangsa ini tak pernah lepas
dari kepentingan sekelompok orang. Dan selama itu pula kesejahteraan gagal diwujudkan
bangsa yang kaya akan potensi alamnya. Memunculkan presiden yang independen
merupakan opsi cerdas ditengah massifnya konfrontasi
elit politik yang semakin tidak beretika. Sudah saatnya bangsa ini dipimpin
sosok yang terbebas dari kepentingan kelompok.
Dan
stok tokoh independen nan qualified di
Indonesia sendiri tidak pernah mengalami krisi. Nama-nama seperti Mahfud MD,
Sri Mulyani ataupun Dahlan Iskan jelas tidak lebih buruk dibanding calon-calon
presiden usungan parpol yang terkesan kehabisan stok(itu-itu saja).
Comments