Problematika terkait penangaan Tim Nasional(Timnas) Indonesia
kini mengalami babak baru. Masalah baru dengan model lama, yakni perpecahan. Parahnya
perpecahan kali ini tidak lagi berkutat antara PSSI-KPSI yang selama ini kita
ketahui. Tapi telah menukik ke genre
yang lebih spesifik, yakni dalam tubuh PSSI itu sendiri. Hal ini
mengindikasikan nasib Timnas ke depan akan semakin amburadul. Hal tesebut
terbukti dengan adanya dua surat pemanggilan Timnas yang membingungkan para
pemain. Masalah ini harus diperparah dengan rangking Indonesia yang turun 7
peringkat dalam rilis terbaru FIFA bulan ini.
Penunjukan pelatih baru Timnas dan pembentukan Badan
Tim Nasional(BTN) oleh Djohar Arifin menjadi pangkal dari persoalan baru ini.
Djohar Arifin melakukan hal tesebut atas dasar hak preogatif dia sebagai Ketua
Umum dan berdasarkan Peraturan Organisasi Nomor 7 tahun 2010 tentang BTN. Sementara
Bob Hippy selaku Koordinator Timnas yang juga anggota Komite Exco PSSI
menganggap apa yang dilakukan Djohar Arifin sebagai sebuah pelanggaran statuta.
Bob Hippy mengklaim bahwa pembentukan BTN harus melalui rapat exco. Hal yang
sama pun berlaku dalam penunjukan pelatih timnas. Hal tersebut di dasarkan pada
statuta PSSI artikel 37 J.(VivaBola.15/02/2013)
Dari pernyataan di atas, kita melihat begitu tumpang
tindihnya aturan yang ada. Tentunya semua pengurus PSSI tak terkecuali Djohar
Arifin mengetahui segala peraturan yang tertera tersebut. Mungkin Benang merah
yang dapat kita tarik adalah adanya perbedaan penafsiran terkait segala
regulasi yang ada.
Jika kita amati, konflik berkepanjangan yang terjadi
dalam tubuh sepak bola Indonesia hingga kini selalu berawal dari perbedaan
penafsiran terhadap apa yang ada dalam statuta. Hal yang tidak jauh berbeda juga
terjadi dalam upaya rekonsiliasi PSSI-KPSI di Kuala Lumpur beberapa waktu yang
lalu. Mou yang telah disepakati kedua kubu di depan AFC, nyatanya memiliki
penafsiran yang berbeda kala dibawa ke tanah air.
Kejadian yang terus terulang tersebut sangatlah
ironis. Pertanyaanya, apakah perbedaan tersebut buah dari kesengajaan “memelintirkan”
sesuai kepentingan masing-masing, atau perbedaan tersebut murni dari pemahaman
masing-masing. Jika memang murni berbeda pemahaman, mengapa belum ada upaya
menyamakan tafsiran dari setiap poin yang ada dalam statuta. Dari tarik ulur
tersebut, terlihat betapa kentalnya unsur politik yang ada dalam tubuh sepak
bola Indonesia.
Kegemerlapan dan antusias besar masyarakat akan sepak
bola nasional pasca AFF 2010 nampaknya menarik hati kaum elit politik di
Indonesia. Kecintaan dan perilaku gila bola yang ditunjukan mayoritas rakyat
Indonesia tidak dipandang sebagai potensi yang akan membawa garuda terbang ke
pentas dunia. Justru dipandang sebagai komoditas politik yang suaranya siap
mengantarkan mereka ke kursi yang di idam-idamkan pada 2014 mendatang. Semoga
asumsi saya kali ini salah.
Tapi jika benar, tentu sangatlah memperihatinkan.
Menggadaikan kepentingan Negara hanya untuk kepentingan kelompok bukanlah hal
yang bijaksana. Teringat dengan ungkapan mantan Presiden Filipina, Manuel L.
Quezon yang sangat termashur. “my loyalty
to my party ends where my loyalty to my country begins” yang artinya
loyalitas saya kepada partai(kelompok) berakhir, begitu saya memulai loyaltas
saya kepada Negara. Hal ini lah yang belum bisa dilakukan kaum elit politik di
Indonesia tak terkecuali para pemangku kebijakan sepak bola Indonesia.
Ke depanya, ketegasan pemerintah dalam hal ini
menpora sangatlah diperlukan. Kita semua sudah jenuh dan muak terhadap konflik berlarut-larut
yang telah memakan banyak korban, para pemain khususnya dan rakyat Indonesia
pada umumnya. Ataukah lebih baik kita terkena sanksi FIFA?
Comments