Perseteruan
yang terjadi dalam tubuh sepak bola Indonesia dua tahun belakangan, akhirnya
menemui titik terang dengan terselenggaranya KLB PSSI pada 17 Maret lalu.
Meskipun demikian, sebagian banyak orang berpendapat bahwa itu bukanlah akhir,
bahkan itu adalah babak baru konflik PSSI. Hal ini tidak lepas dari munculnya letupan-letupan
yang terjadi di tubuh pengelola Timnas, serta aksi Walkout yang dilakukan enam anggota Komite Executive(Komex).
Tapi
di luar itu semua, setidaknya untuk saat ini Indonesia telah terbebas dari
sanksi FIFA yang sempat berada di ujung tanduk. Lolosnya Indonesia dari sanksi
FIFA merupakan anugerah yang mesti kita syukuri. Dan bentuk rasa syukur
tersebut bisa kita implementasikan dengan memanfaatkan kemurahan hati FIFA, untuk
sama-sama berkomitmen memajukan sepak bola Indonesia. Sulit rasanya untuk
membayangkan kondisi sepak bola Indonesia yang semakin menunjukan potensi ini,
jika harus dibekukan FIFA.
Eufori
atas berakhirnya konflik PSSI seyogyanya tidak dilakukan secara berlarut-larut.
Mengingat betapa banyaknya persoalan fundamental yang mesti diselesaikan PSSI,
mulai dari penyatuan liga, krisis finansial yang kini melanda klub, hingga
prestasi Timnas yang sudah begitu memprihatinkan. Semangat persatuan dan
optimisme yang kembali tumbuh, sudah selayaknya menjadi modal dalam upaya
menyelesaikan pekerjaan rumah yang menumpuk tersebut. Kuncinya terletak pada
pngelolaan sepak bola secara professional, artinya nuansa politik yang selama
ini menggelayuti PSSI harus disterilkan.
Politik dalam tubuh PSSI
Di
negara-negara maju, sepak bola sangatlah identik dengan industri. Mereka
memafaatkan kepopuleran sepak bola dengan kaca mata bisnis. Hal ini bisa kita
lihat dari apa yang ada di Inggris, Spanyol, Italy ataupun negara eropa lainya.
Pengelolaan liga yang professional dan kompetitif telah menarik investor dari
seluruh penjuru dunia. Tapi hal yang berbeda justru dipertontonkan stekholder sepak bola Indonesia. Mereka
memanfaatkan kepopuleran sepak bola dengan kaca mata politik. Alih-alih
memberikan keuntungan, yang ada hanyalah kekisruhan yang membuat orang menjadi
enggan. Sungguh keterlaluan elite politik di negeri ini, sepak bola yang
notabenya hiburan masyarakat justru dirusak hanya untuk kepentingan segelintir
orang.
Potensi
dan fanatisme besar masyarakat akan sepak bola nasional(khususnya pasca AFF
2010) nampaknya menarik hati kaum elit politik di Indonesia. Kecintaan dan
perilaku gila bola yang ditunjukan mayoritas rakyat Indonesia tidak dipandang
sebagai potensi yang akan membawa garuda terbang ke pentas dunia. Justru
dipandang sebagai komoditas politik yang suaranya siap mengantarkan mereka ke
kursi yang di idam-idamkan pada 2014 mendatang.
Tentu
kita ingat peristiwa “aneh” kala AFF 2010 lalu. Beberapa elite politik berebut
mendekati Timnas yang kala itu sedang di elu-elukan masyarakat. Yang lebih
gila, beberapa foto bergambar tokoh politik bertebaran di Stadion Bukit Jalil Malaysia
kala timnas dipecundangi Malaysia 3-0. Bahkan salah sorang tokoh politik sukses
mengundang timnas untuk jamuan makan malam. Sederetan kejanggalan yang membuat pelatih Alfred Riedl geram kala itu.
Pada
hakikatnya sepak bola dan politik bukanlah dua hal yang bisa bertemu. Sepak
bola adalah olahraga yang menjunjung sportivitas, sedangkan politik adalah hal
kotor yang tidak pernah mengenal kata sportivitas. Artinya ketika dua hal
dipaksakan bersatu, padahal keduanya memiliki prinsip dasar yang berbeda, maka
yang terjadi adalah kecarut-marutan. Persis dengan apa yang kita saksikan saat
ini dipersepakbolaan indonesia.
Karena dalam politik, kepentingan golongan
lebih di dahulukan dari pada kepentingan bersama. Dan dalam konteks mengelola
sepak bola, prinsip tersebut akan menyulitkan pengelola dalam memajukan sepak
bola. Karena proses memajukan sepak bola harus sejalan dengan kepentingan
kelompoknya, sekat inilah yang menjadikan totalitas untuk memajukan sepak bola
menjadi sulit diwujudkan.
Jadi,
kunci dari sukses atau tidaknya pengelolaan sepak bola ke depan, sangatlah
bergantung dari sejauh mana penanggalan unsur-unsur politik itu dilakukan.
Karena sepak bola perlu dikelola dengan hati, bukan dengan ego ataupun
kepentingan golongan. Dalam hal ini, kontrol yang dilakukan masyarakat dan
media sangatlah dibutuhkan. Semoga sepak bola Indonesia lekas “sembuh”. Dan
mampu mengakhiri dahaga kemenangan yang sudah sekian lama tertunda. Amin.
Comments