Selain
kisruh PSSI dan kasus korupsi yang menyeret Anas Urbaningrum dan Djoko Susilo,
fenomena Sadisme menjadi isu hangat
yang banyak dikupas media dalam beberapa hari terakhir. Hal ini tidak lepas
dari kasus Benget Situmorang dan selingkuhannya, Tini, yang tega memutilasi dan
membuang potongan tubuh istri, Darna Sri Astuti di jalan tol Jakarta. Perilaku
yang seyogyanya tidak pantas dilakukan manusia sebagai makhluk yang dianugerahi
akal dan hati oleh Tuhan.
Jika harimau membunuh karena kebutuhan fundamental
yang menyangkut eksistensi hidup mereka(makan), manusia membunuh karena nafsu.
Perilaku primitif yang terkadang muncul karena hal-hal sepele semisal iri atau
tersinggung. Lalu, apakah manusia sudah lebih rendah dari binatang?
Jika
kita menengok ke belakang, kejahatan sadis yang dilakukan Benget Situmorang bukanlah
hal baru di Indonesia. Tentu kita ingat kasus Very Idam Henyansyah alias Ryan pada 2008 dengan 11 korban, Baekuni (Babe)
2010 dengan 14 korban terkait homoseksual, paedofil, dan necrofil (menyetubuhi
mayat), serta Robot Gedek yang menyodomi dan membunuh 16 anak-anak.
Celakanya, hingga kini pemerintah belum memiliki
itikad kuat untuk menanggapi gejala yang semakin merebak tersebut. Sikap apatis
yang ditunjukan pemerintah seolah-olah membiarkan kasus serupa untuk terulang
kembali. Tanpa upaya pencegahan yang sistematis, cepat atau lambat masyarakat
akan memandang mutilasi atau kejahatan sadis lainya sebagai kejahatan yang
biasa. Dan itu akan menjadi realitas yang berbahaya bagi kehidupan sosial
masyarakat Indonesia ke depan.
Menurut psikiatri Dadang Hawari, meningkatnya kasus
mutilasi mengisyaratkan kondisi masyarakat kita semakin sadis dan pendendam.
Ada kondisi psikologis yang memicu, yakni kemiskinan dan ketidakpedulian para
pemimpin. Tekanan berat ekonomi dan sosial memicu kekalutan mental; ganas, buas
tanpa sebab jelas, bertindak sadis, dan antisosial.
Riset Persatuan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa
Indonesia menunjukan 94 persen penduduk mengalami depresi dari tingkat ringan
hingga berat. Itu merupakan bukti yang menggambarkan kegagalan pemerintah
menciptakan situasi masyarakat yang tentram. Negara telah gagal untuk
menjalankan tugas yang paling fundamental tersebut. Ketimpangan sosial, ketidakadilan
hukum, hingga pengangguran yang bermuara pada kemiskinan merupakan benih dari
perilaku sadis yang perlu segera diselesaikan.
Sudah saatnya, kajahatan yang menjurus ke perilaku
sadis tersebut tidak dianggap sebagai persoalan individu, melainkan penyakit
kejiwaan yang kini melanda masyarakat. Suatu fenomena yang menuntut kepedulian
para pemimpin. Masyarakat butuh sentuhan kasih sayang pemimpinya.
Tapi ironis, ditengah kondisi demikian, elite politik justru
memilih untuk “menyibukan diri” dalam perebutan kekuasaan. Konfrontasi yang kerap
berorientasi pada perampokan hak-hak rakyat(dibaca; korupsi). Masyarakat tidak
dipandang sebagai ladang untuk mengabdikan diri, tapi masyarakat dipadang
sebagai komoditas suara yang akan menyokong ambisi mereka pada 2014 mendatang.
Terbukti, pejabat sekaliber Presiden SBY pun memilih untuk mengurusi persoalan
partai.
Terciptanya kehidupan masyarakat yang damai, aman dan
sejahtera hanya akan menjadi pepesan kososng selama pemerintah acuh dengan apa
yang di derita rakyat. Mutilasi, pemerkosaan dan kejahatan sadis lainya yang
kini menggandrungi Indonesia merupakan bentuk teguran sosial kepada para
pemimpin, bahwa masyarakat dalam kondisi yang tidak damai.
Comments