Fenomena Sadisme
menjadi isu hangat yang banyak dikupas media, khususnya di Yogyakarta dalam
beberapa hari terakhir. Hal ini tidak lepas dari kasus kejahatan sadis yang
terjadi di Kalasan, Sleman DIY. Dimana sekelompok pria biadab tega memperkosa,
membunuh dan membakar siswi SMK yang menjadi korban kebengisan tersebut.
Perilaku yang seyogyanya tidak pantas dilakukan manusia sebagai makhluk yang
dianugerahi akal dan hati oleh Tuhan.
Jika kita menengok ke belakang, kejahatan sadis yang terjadi di Kalasan
bukanlah hal baru di Indonesia. Tentu kita ingat kasus Benget Situmorang yang
tega memutilasi dan membuang potongan tubuh istri di jalan tol beberapa bulan
lalu. Lalu Baekuni (Babe) pada
tahun 2010 dengan 14 korban terkait homoseksual, paedofil, dan necrofil
(menyetubuhi mayat), hingga kasus Very Idam Henyansyah alias Ryan pada 2008 dengan 11
korban.
Jika harimau membunuh karena
kebutuhan fundamental yang menyangkut eksistensi hidup mereka yakni makan,
manusia membunuh karena nafsu. Perilaku primitif yang terkadang muncul karena
hal-hal sepele. Lalu, apakah manusia sudah lebih rendah dari binatang?
Menurut Karl Marx, rasio
atau perilaku seseorang dibentuk oleh realitas atau lingkungan disekitarnya.
Atas dasar tersebut, sudah saatnya kita tidak memandang perilaku sadis sebagai
persoalan individu, melainkan permasalahan sosial yang kini melanda masyarakat Indonesia.
Ada yang salah dari lingkungan yang semakin mencekam ini. Suatu fenomena yang
menuntut kepedulian para pemimpin. Masyarakat butuh sentuhan kasih sayang
pemimpinya.
Tapi celakanya, hingga kini
pemerintah belum memiliki itikad kuat untuk menanggapi gejala yang semakin merebak
tersebut. Dari sekian banyak kasus, pemerintah cenderung bersikap normatif
dalam menyikapi kasus-kasus tersebut, tanpa ada langkah atau instruksi yang jelas.
Sikap apatis yang ditunjukan pemerintah seolah-olah membiarkan kasus serupa
untuk terulang kembali. Tanpa upaya pencegahan yang sistematis, cepat atau
lambat masyarakat akan memandang perilaku sadis sebagai kejahatan yang biasa.
Dan itu akan menjadi kondisi yang berbahaya bagi kehidupan sosial masyarakat
Indonesia ke depan.
Ciptakan Lingkungan Damai.
Jika melihat kesanggupan
pemerintah Korea Selatan mengkondiskan budaya K-POP di seluruh dunia, rasanya
pemerintah Indonesia pun sanggup menciptakan lingkungan yang kondusif di
negerinya sendiri. Banyak hal yang bisa dilakukan, semisal dengan membuat
kurikulum pendidikan yang bersifat humanis, menciptakan hukum yang berefek
jera, hingga memfilter arus teknologi dan tayangan TV yang menjurus pada
kekerasan.
Selain itu, diperlukan juga sentuhan tokoh agama,
akademisi, hingga aktivis sosial untuk menciptakan lingkungan yang baik. Karena
merekalah unsur yang dekat dengan masyarakat, adapun pemerintah bertindak
sebagai konseptor yang menjalankan regulasi secara konstitusional. Dari
lingkungan yang baik tersebut, akan tercipta perilaku masyarakat yang baik
pula. Persoalanya sekarang adalah mau atau tidak menciptakan lingkungan yang baik
tersebut?
Comments