Dalam
beberapa minggu ke depan, dunia pendidikan di Indonesia akan menggelar hajatan
besar, yakni Ujian Nasional(UN) yang ke sembilan. Di awali dari tingkat SMA,
SMP hingga terakhir di tingkatan SD. UN merupakan pengadilan terakhir yang
memutuskan lulus atau tidaknya proses yang dilakukan siswa setelah beberapa tahun
sekolah. Setidaknya, itu lah kesan yang melekat di benak masyarakat, meskipun
pemerintah mengklaim UN sebagai sarana pemerataan kualitas pendidikan di
Indonesia.
UN merupakan bagian dari penyelenggaraan pendidikan yang
didasarkan pada Pasal 35 Ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Namun, penyelenggaraan UN sering dipersoalkan,
karena dinilai bertentangan dengan Pasal 58 Ayat (1) yang mengatakan ”Evaluasi
hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses,
kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan”. Perdebatan
yang terjadi hingga kini adalah adanya ketentuan bahwa UN menjadi penentu
kelulusan siswa, sedangkan dalam kenyataan, belum semua siswa di Indonesia
memiliki kualitas yang sama.
Penolakan
pelaksanaan UN yang dilakukan bupati Yahukimo, Papua Ones Pahabol, SE, MM, merupakan
sesuatu yang perlu kembali kita renungkan. Sebagaimana yang dilansir Cendrawasih
Pos, Ones keberatan jika siswa di Yahukimo harus disamakan dengan Jakarta,
mengingat kondisi pendidikan di Yahukimo sangat memprihatinkan.
Jika
kita mau jujur, alasan Ones Pahabol sangatlah masuk akal. Sudah menjadi rahasia
umum jika kualitas pendidikan kita mengalami ketimpangan antara kota dengan
daerah, terutama dalam segi sarana maupun jumlah guru. Sangatlah naif jika
pemerintah mengharapkan pemerataan pendidikan manakala sarana dan tenaga
pengajar tidak disamakan. Ibarat membajak sawah, hasil petani yang menggunakan
cangkul dengan traktor tentulah berbeda.
Bagi
daerah atau sekolah yang minim fasilitas, UN adalah momok yang menakutkan.
Seluruh stekholder sekolah hidup
dalam bayang-bayang stigma buruk masyarakat, jika kelak siswanya gagal dalam
menghadapi UN. Tak ayal, berbagai kecurangan mulai dari pembocoran soal hingga
menyontek masal menjadi rutinitas yang tak bisa di hindarkan setiap tahunnya.
Pemerintah seolah menutup mata, mengingat hal tersebut sudah menjadi rahasia
umum.
Praktek
kecurangan masal dalam dunia pendidikan seyogyanya bukanlah hal yang etis.
Selain mencoreng citra pendidikan sebagai lembaga yang mencetak karakter bangsa,
kecurangan pun melibatkan anak-anak. Anak-anak yang semestinya di didik untuk
berlaku jujur, sistem justru memaksa mereka untuk berlaku curang. Pendidikan
karakter yang sudah didapatkan siswa selama bertahun-tahun pun luluh lantak
dalam waktu seminggu. Sebuah sistem yang belum terlihat sisi positifnya harus
diganjar dengan hancurnya karakter bangsa. Wajar saja jika regenerasi koruptor
berjalan dengan baik.
Dengan
kondisi masyarakat yang berbeda-beda, upaya pemerataan pendidikan di Indonesia
tidak harus ditempuh dengan penyamaan sistem pendidikan. Menyamakan irama
pendidikan di Jakarta dengan di daerah seperti Papua ataupun Jawa Timur sekalipun,
bukanlah sesuatu yang bijak. Idealnya kurikulum dan standar kelulusan di setiap
daerah bersifat otonom. Artinya disesuaikan dengan kondisi sosial-budaya, adat
istiadat dan geografis sebuah daerah. Adapun pemerintah pusat hanya perlu
membuat “garis merah”nya saja. Karena sesuatu yang baik tidak harus sama.
Comments