Indonesia mencoba mengambil celah di
tengah isu pencopotan Qatar sebagai tuan tumah Piala Dunia 2022, pasca
mencuatnya aroma suap dibalik penetapan tersebut. Hal ini diungkapkan Menpora, Roy
Suryo yang mendeklarasika diri –jika Indonesia siap menggantikan Qatar untuk
menggelar Piala Dunia 2022. Bagi kita pecinta sepak bola, sepintas ini
terdengar menggembirakan. Tapi melihat apa yang terjadi di Brazil, sudah
semestinya kita berfikir ulang dengan rencana tersebut.
Sebagaimana kita ketahui bersama,
peristiwa demonstrasi dan pemogokan masal yang dilakukan kelas pekerja menjadi
fenomena tersendiri, di tengah hingar-bingar hajat lima tahunan FIFA di Brazil.
Naiknya harga kebutuhan pokok –baik logistik maupun jasa– akibat pengalihan
dana subsidi untuk pembangunan infrastruktur Piala Dunia adalah alasan kemarahan
masyarakat Brazil. Adalah benar jika sepak bola begitu dicintai warga Brazil,
tapi kebutuhan perut akan makan, dan kebutuhan tubuh akan kesehatan tak bisa
lagi mereka (manusia) bohongi.
Jika kita bandingkan dengan Brazil,
kondisi perekonomian di Indonesia tidaklah lebih baik. Faktanya, negara masih belum memberikan
kesejahteraan yang merata di negeri ini. Jika di negara-negara maju, pemerintah
setempat sibuk untuk memenuhi kebutuhan tersier warganya, bangsa kita masih
ribut dipersoalan elementer. Tentu menjadi langkah yang tidak bijak, jika kita
memaksakan kehendak –yang sebenarnya bukanlah hal pokok– dengan menambah
kepedihan wong cilik. Meskipun kita menggandeng Malaysia dan Singapura,
dana triliyunan rupiah tetap harus kita gelontorkan demi pagelaran tersebut.
Melihat garuda terbang dipentas
dunia adalah mimpi yang selalu kita dambakan bersama, tapi apakah harus dengan
jalan menjadi tuan rumah? Sejujurnya saya khawatir, keinginan kita untuk
menggelar Piala Dunia hanya berangkat dari keputusasaan kita –atas kegagalan
demi kegagalan yang kita alami dalam memperebutkan tiket Piala Dunia. Seolah kita
hanya ingin mengambil jalan instan! Lalu, apakah yang demikian yang kita
inginkan?
Piala dunia adalah kasta tertinggi
sepak bola di jagat raya. Alhasil, hanya negara-negara yang teruji kualitasnya,
yang layak mencicipi turnamen tersebut. Jadi tampil di Piala Dunia dengan jalan
menjadi tuan rumah bukanlah langkah yang jantan, dan tidak merepresentasikan
kualitas sepak bola kita. Apalah artinya tampil di Piala Dunia, jika hanya akan
(dibaca: lebih banyak) menjadi penonton di rumah sendiri –akibat terhenti di
babak penyisihan, syukur-syukur tidak menjadi bulan-bulanan. Itu artinya,
secara substansial, yang lebih perlu kita genjot adalah peningkatan kualitas
persepakbolaan kita. Karena prestasi adalah buah dari kualitas.
Sebenarnya, mimpi kita untuk melihat
Garuda tampil di pentas dunia sudah begitu dekat, meskipun baru di level U-20. Berkaca
dari penampilan dan track record yang diperlihatkan, jalan yang ditempuh
Evan Dimas cs tampaknya tidak seterjal di level senior. Keberhasilan mereka menumbangkan
tim-tim kuat Asia seperti Korea Selatan, UEA, hingga Oman jelas memberikan asa,
bahwa kita akan mampu berbicara pada Piala Asia Oktober mendatang. Dan itu
artinya, kita berkesempatan lolos ke Piala Dunia U-20 di Selandia Baru.
Jadi, ada baiknya kita untuk lebih
bersabar, di samping meningkatkan untuk berupaya lebih keras. Karena pada
akhirnya, sepak bola tak ubahnya seperti kehidupan. Upaya instan hanya akan
menghasilkan kesuksesan yang tak kalah instan. Karena kesediaan untuk
berprestasi, adalah kesediaan untuk belajar dan berproses dengan keras.[]
Comments