Pertarungan Pilpres
(Pemilihan Presiden) tahun ini benar-benar seru. Saking serunya, sampai dua
orang yang tengah mengantri mengurus SIM di Lampung pun harus berantem
gara-gara berdebat soal capres (Kompas.com/11 Juni 2014). Sebelumnya,
dua orang tukang becak di Madura pun melakukan hal yang sama, juga dengan alasan
yang sama (Tribunnews.com/ 6 Juni 2014). Dua kejadian ini seolah ingin melengkapi
berbagai “pertengkaran” yang sudah begitu marak di media sosial tiga bulan
belakangan.
Menjamurnya
pertengkaran, adalah bukti jika ketegangan telah merambah hingga tingkat akar
rumput. Jika tidak ada upaya rehabilitasi yang strategis, dapat dipastikan
Pilpres akan meninggalkan “keporak-porandaan” tatanan sosial di masyarakat. Dan
ini sangatlah disayangkan, karena pada akhirnya, wong cilik yang harus
kembali menjadi korban kepentingan para elit di Jakarta.
Dengan demikian,
siapapun yang memenangi Pilpres kali ini, sudah sepatutnya bertanggung jawab
dengan apa yang telah diperbuatnya. Diakui atau tidak, nafsu mereka untuk
berkuasa –yang diejawantahkan dengan
melakukan segala cara– telah mengakibatkan persahabatan dua sejoli renggang,
retaknya keharmonisan keluarga, permusuhan antar warga, bahkan hingga konflik
yang berbau SARA. Itu faktanya. Tentu ini persoalan serius, karena perdamaian
adalah hal yang fundamental dalam bermasyarakat.
Pertarungan
Pilpres yang hanya diikuti dua pasang Capres-Cawapres ternyata membawa banyak
konsekuensi. Selain minimnya pilihan, persaingan yang terfokus (head to head)
–yang berdampak pada meningkatnya suhu persaingan adalah dampak paling riskan.
Masyarakat akan saling mendefinisikan satu-sama lain dengan mudah, jika dia
tidak memilih capres A, berarti dia pendukung capres B. Proses identifikasi
mana kawan, mana lawan –yang berujung pada penentuan musuh bersama juga tak
kalah mudahnya.
Tentu akan berbeda
jika ada tiga pasang capres atau lebih. Selain terpecahnya konsentrasi dan
sulitnya mengidentifikasi masing-masing individu, penyematan musuh bersama juga
tidak terjadi. Itu artinya, peluang terjadinya konflik relatif mudah untuk
dihindari.
Keculasan Oknum
Tapi sayangnya,
realitas politik yang sudah terlanjur lahir dengan kondisi “panas” tersebut
harus diperkeruh dengan keculasan oknum yang memilih memainkan black
campaign. Seperti kita ketahui bersama, pertarungan isu-isu hitam lebih
banyak mewarnai perjalanan Pilpres dibanding pertarungan visi-misi dan problem
solving yang ditawarkan. Padahal, kedewasaan masyarakat kita dalam
berpolitik belum cukup baik. Masyarakat masih belum mampu membedakan, mana Black
Campaign, mana Negative Campaign. Dari sinilah, fanatisme sempit yang
berpotensi menciptakan pertikaian di masyarakat bermula.
Politik memang
cair, bahkan kelewat cair hingga berbagai cara pun ditempuh guna merengkuh
kekuasaan. Tapi jika keharmonisan di masyarakat –yang di Timur Tengah begitu
mahal harganya– harus dikorbankan, rasanya sangat keterlaluan. Dan itu memang
telah melenceng jauh dari tujuan politik itu sendiri, yakni alat untuk mewujudkan
kehidupan manusia yang sejahtera.
Jadi
sudah selayaknya, disisa waktu yang ada ini kedua calon lebih menonjolkan
gagasan yang ditawarkan ketimbang membongkar keburukan lawan. Toh sudah
cukup rasanya, masyarakat mengetahui keburukan masing-masing calon. Jangan
sampai masyarakat memilih golput karena hanya mengetahui keburukan, tanpa
pernah tahu sisi positif dari setiap calon. Dan yang lebih penting, itu akan
mencerdaskan masyarakat -sekaligus meminimalisir konflik di dalamnya.Tulisan ini dimuat rubrik Opini Harian Radar Surabaya edisi Sabtu, 14 Juni 2014
Comments