Pemilihan calon presiden dan wakil presiden kali ini terasa lebih
seru. Bukan hanya karena dua calon memiliki basis massa yang kuat, tapi
keberadaan sosial media (sosmed) sebagai “media baru” membuat intensitas
pertarungan menjadi lebih semarak, bahkan menyentuh masyarakat akar rumput.
Dalam interaksi dunia maya inilah, seluruh masyarakat –dari mulai pejabat,
pedagang, buruh, ibu rumah tangga, mahasiswa dan lain sebagainya ikut berbicara
soal politik. Baik mendukung capres idolanya, menghujat capres lainnya, hingga
berdebat dengan pendukung capres lawan.
Menurut laporan Asosiasi Penyelenggara Jasa
Internet Indonesia (APJII) sendiri, jumlah pengguna internet di Indonesia pada
awal tahun 2014 telah melampaui angka 120 juta. Itu artinya, setengah dari
penduduk Indonesia sudah menggunakan internet yang di dalamnya terdapat sosmed.
Keberadaan sosmed sebagai media kampanye jelas tidak bisa dianggap
sebelah mata.
Ditinjau dari jenis komunikasinya, kampanye di sosmed cenderung berlangsung dua
arah. Itu artinya, kampanye via sosmed
membuka peluang dialekika/interaksi antara pelaku kampanye dengan objek atau
sasaran kampanye. Pada momen inilah, pertarungan pendapat kerap berlangsung.
Adapun pihak yang kalah, biasanya cenderung mengalihkan dukungannya. Dan semua
perdebatan itu dilakukan dengan bahasa yang vulgar. Sehingga siapapun yang
melihat perdebatan itu, kemungkinan untuk ikut terpengaruh sangat terbuka.
Tentu ini berbeda dengan televisi, selebaran, spanduk ataupun
baliho yang cenderung satu arah. Sifatnya persuasif atau sebatas mengajak,
belum pada tataran menyerang argumen lawan. Kalaupun menyerang lawan, bahasa
yang digunakan tidaklah vulgar, melainkkan menggunakan simbol-simbol tertentu,
dan tidak semua masyarakat memiliki alat untuk menangkap simbol tersebut.
Intinya, pertarungannya jelas lebih tertutup.
Alhasil, baliho, selebaran, spanduk, hingga iklan televisi
tampaknya tidak mampu mendongkrak suara tokoh maupun partai. Terbukti dengan
kegagalan ARB dan WIN-HT untuk bisa maju pada bursa capres 2014, padahal entah
berapa kali –untuk tidak mengatakan tak terhitung– mereka sering menampakkan
diri di layar televisi. Justru tokoh seperti Jokowi dan Prabowo yang banyak
menjadi pembicaraan di sosmed-lah yang maju dan berpeluang memenangi
pilpres 9 Juli mendatang.
Kampaye
Hitam
Media sosial memang menawarkan kebebasan. Siapapun –tak peduli
status sosial dan strata pendidikanya– boleh
mengatakan apapun. Menghujat, membongkar aib, bahkan memfitnah sudah
menjadi bumbu-bumbu yang selama ini mewarnai kehadiran sosmed. Karena
memang belum ada regulasi yang mengatur etika ber-sosmed.
Kondisi ini kerap kali dimanfaatkan oknum salah satu pendukung
capres untuk melakukan kampanye hitam. Pertarungan wacana yang berbau fitnah
dan saling menjatuhkan tak terbendung. Dosa-dosa masa lalu, latar belakang
keluarga, hingga isu SARA pun digelontorkan. Semua itu dilakukan untuk
menjatuhkan lawan, sehingga bisa memuluskan jalan merengkuh kekuasaan!
Masyarakat dibuat bingung dan terombang-ambing. Sekarang pilih yang
“ini”, besok milih yang “itu”, besoknya lagi kembali ke yang “ini”. Begitupun
sebaliknya. Pada akhirnya, siapa yang kuat memainkan wacana di sosmed,
dialah yang berpeluang menang.
Melihat fenomena ini, bukanlah sesuatu yang mustahil, jika sosmed-lah
yang pada akhirnya menentukan siapa yang akan memimpin Indonesia 5 tahun ke
depan. Oleh karenanya, sebagai masyarakat yang turut menggunakan sosmed,
sudah sepatuhnya kita berlaku bijak dalam menerima isu-isu yang berkembang di sosmed.
Intinya, jangan mudah percaya terhadap isu-isu tersebut. Sikapi dengan objekif,
dan biasakan memverifikasi kebenaran isu tersebut. Meminjam petuah Pramoedya A
Toer, “kita harus bersikap adil, sejak dalam pikiran”.[]
Tulisan ini dimuat di rubrik Pojok Digital SKH Kedaulatan Rakyat edisi Senin, 9 Juni 2014
Comments