"Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah
sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan”
Demikian pesan Jean Marais kepada Minke dalam Tetralogi Buru,
karya fenomenal Pramoedya Ananta Toer. Karena pesan Jean Marais tersebut,
Minke menjadi pribadi yang kerap mengalami pergulatan batin setiap menghadapi
persoalan. Dia harus memastikan, bahwa langkah yang diambilnya berangkat dari
fikiran yang adil, bukan karena intervensi, emosi, atau keinginan pribadi
semata. Saat ini, perilaku itu dikenal dengan istilah objektif.
Saya hakulyakin, pesan yang disampaikan Pram itu bisa menjadi metode
kita dalam menentukan sikap ataupun pilihan dalam berbagai kondisi, tak
terkecuali dalam Pilpres 9 Juli mendatang. Karena dengan berfikir objektif,
kita akan mampu bersikap terbuka –sekaligus selektif dalam menerima berbagai
informasi yang ada. Apapun itu. Sehingga peluang untuk bisa memperoleh pilihan
yang tepat jauh lebih besar.
Perilaku menutup informasi hanya karena informasi tersebut menyudutkan
capres idolanya, atau menelan mentah-mentah isu yang dirasa mendukung capres
idola, itu bukanlah perilaku yang arif. Sikap atau pilihan yang dilandasi pada
fanatisme buta bukanlah hal yang relevan lagi. Terlebih dalam politik yang
dikenal “terlampau” cair. Di mana ideologi, platform, bahkan agama pun sudah
tidak lagi bisa dijadikan ukuran. Asal bisa berkuasa, apapun akan dilakukan.
Ideologi, visi-misi, platform, tidak lebih dari sebuah “simbol” belaka. Itu
faktanya!
Sayangnya, yang demikian masih banyak terjadi di Indonesia hingga
detik ini. Dengan alasan ketaatan, perilaku “ikut pak kyai”, “nurut perintah bu
pimpinan”, dan yang lebih parah, “terserah yang kasih duit” masih banyak
terjadi di tengah masyarakat kita. Sehingga siapapun yang bertentangan dengan pilihan
pak kyai, ibu pimpinan, atau yang kasih duit akan didebat, bahkan secara
membabi buta –atau mungkin hingga adu jotos. Padahal kita tidak pernah tahu,
(mohon maaf) jangan-jangan kali ini pak kyai dan ibu pimpinan yang kita ikuti
tengah khilaf ? Terlebih yang memberi duit, itu sudah pasti ngawur!
Jadi ada baiknya, kita mempertimbangkan ulang “usulan” pak kyai dan ibu
pimpinan tersebut, tanpa mengurangi rasa hormat kita pada mereka.
Nah, tidak kurang
dari sebulan, waktu yang kita miliki untuk kembali menimbang, siapa yang paling
pantas. Siapapun pilihan kita, selama dilandasi pertimbangan (bukan fanatisme),
berarti kita telah menjadi warga negara yang baik. Bahkan kala kita memilih
golput sekalipun.
Comments