(Sebuah Rekleksi 14 tahun Reformasi)
Tanpa terasa, tanggal 21 Mei 2012 mendatang
usia reformasi indonesia yang meletus pada tahun 1998 lalu genap menginjak umur
14 tahun. Di umur yang tidak muda tersebut, cita-cita reformasi yang digagas
mahasiswa dan aktivis sosial kala itu belum juga tercapai, bahkan dalam
beberapa sektor kondisi kian memburuk. Masa transisi pencarian jati diri yang
berkepanjangan membuat banyak masyarakat bingung dan bangsa ini kehilangan
orientasi. Permasalahan bangsa yang semakin rumit membuat bangsa ini bingung
harus berbuat apa? dan melangkah kemana?.
Dari sekian banyak masalah yang timbul pasca
reformasi, ada 4(empat) permasalahan yang dirasa urgent karena telah membuat
bangsa ini galau berkepanjangan. Bahkan membuat sebagian masyarakat
merindukan era soeharto yang pada 14 tahun silam dirobohkan paksa.
Permasalahan yang pertama adalah korupsi. Tindakan
kriminal warisan penjajah Belanda tersebut memang sudah ada sejak era soeharto,
namun yang membedakan dengan saat ini adalah pelaku. Jika era soeharto koruptor
hanya berasal dari kalangan elit politik, disaat ini korupsi sudah merata
dilakukan seluruh elemen dari mulai pembuat undang-undang(DPR) hingga pembuat
KTP(RT).
Intensitas perilaku korupsi yang tinggi tidak
dibarengi dengan hukum yang tangguh membuat koruptor bebas melanglang buana. Kondisi
ini memberikan dampak jenuh kepada masyarakat dan wacana korupsi dianggap
sebagai sesuatu yang biasa. Dan tidak bisa kita pungkiri, korupsi saat ini
sudah menjadi bagian dari budaya indonesia yang mana dilakukan secara turun
menurun. Tentu kita masih ingat rekening gendut yang banyak dimiliki PNS muda,
itu menandakan bahwa regenerasi koruptor di indonesia berjalan dengan baik.
Jika hal ini tidak mampu ditanggulangi maka keuangan negara akan terus bocor,
dalam hal ini rakyat kembali dirugikan akibat dana pembangunan yang kecil harus
dipotong ongkos korupsi birokrasi.
Lalu permasalahan yang kedua adalah munculnya
gerakan-gerakan radikal yang meresahkan masyarakat. Parahnya mayoritas mereka
mengklaim perilaku tersebut atas nama agama. Satu pemandangan yang jarang
terjadi di era soeharto. Dibalik sikap diktator yang ditunjukan soeharto, ada
satu hikmah positif yang bisa kita ambil yakni kedamaian yang dirasakan
masyarakat. Kelompok-kelompok radikal tentu akan berfikir ribuan kali jika
ingin menampakan tajinya mengingat stabilitas sosial menjadi salah satu program
utama soeharto. Berontak atau membuat onar berarti mati.
Bagaimanapun undang-undang ormas mengatur,
selama tidak ada tindakan tegas dan riil, maka kelompok separatis akan tetap
ada. Ini terbukti dengana apa yang terjadi saat ini, kekerasan tidak lagi identik
dengan FPI, penyerangan MMI terhadap irshad manji menjadi pertanda bahwa
kelompok radikal semakin banyak. Jika ini terus terjadi, maka citra indonesia
sebagai negara yang memiliki budaya sopan santun hanya bagian dari sejarah. Dan
ini akan berdampak buruk pada sektor pariwisata indonesia.
Dan masalah yang ketiga adalah privatisasi
media oleh kaum elit politik. Jika era soeharto media terhegemoni oleh
pemerintah, maka di era demokrasi media terhegemoni oleh pemilik saham. Independensi
yang merupakan aturan primer sebuah media berubah menjadi tersier. Ditambah
lagi dengan sistem demokrasi yang memberikan kebebasan penuh terhadap media
rentan dimanfaatkan oknum-oknum tertentu untuk kepentinganya.
Kita menyadari bahwa karakteristik masyarakat indonesia
saat ini dan kedepan adalah masyarakat yang berbasis informasi. Artinya
mengkonsumsi media sudah menjadi salah satu kebutuhan baru masyarakat. Dan ini
akan menjadi persoalan jika media diprivatisasi, terlebih oleh kalangan
politik. Dalam kondisi demikian, masyarakat tidak lagi dianggap sebagai
konsumen media, melainkan telah dijadikan komoditas suara dalam politik mereka.
Dan permasalahan yang terakhir adalah
terkikisnya ideologi pancasila. Jika kita berbicara indonesia yang pluralis,
tentu kita tidak bisa melupakan alat pemersatu yakni pancasila. Tidak bisa
dipungkiri, butir-butir pancasila sudah tidak lagi bersemanyam di benak pribadi
masyarakat. Kekerasan antar agama, sentimen suku hingga egoisme kelompok politik
menjadi bukti bahwa nilai-nilai pancasila yang malambangkan cita-cita bersama telah
dilupakan. Salah satu penyebabnya adalah hilangnya pendidikan yang berbasis
pancasila. Jika era orde baru pancasila menjadi salah kurikulum dalam
pendidikan, hal yang sama tidak terjadi saat ini. Kesibukan pendidikan mencetak
pekerja mambuat pendidikan karakter teraleniasikan.
Ditengah kekacauan saat ini, tentu kita tidak
bisa menyalahkan sejarah yang melahirkan sebuah era baru yakni reformasi.
Karena apa yang terjadi saat ini adalah buah dari apa yang kita lakukan dulu.
Perlu rasanya sejenak kita renaungkan apa yang terjadi saat ini dengan apa yang
dulu pernah kita cita-citakan. Dan itu yang akan menjadi modal kita dalam
menggalang sebuah revitalisasi cita-cita reformasi.
(Tulisan ini dimuat harian Radar Jogja edisi Jumat 18 Mei 2012)
Comments