Skip to main content

Kajian Al-quran Menanggapi pemberitaan

                  PENDAHULUAN
Informasi dan manusia adalah sebuah kesatuan yang tidak bisa di pisahkan. Kodrat manusia sebagai makhluk yang berakal, membuat manusia terus mencari informasi atau pengetahuan dalam hidupnya. Disisi lain, manusia sebagai makhluk yang memiliki nafsu membuat setiap pribadi tidak selamanya memberikan yang terbaik untuk manusia lainya, termasuk dalam memberikan informasi.
Dalam sejarah manusia, banyak sekali informasi dan kabar-kabar yang tidak disampaikan dengan baik. Banyak kebohongan-kebohongan yang tersembunyi dalam sebuah informasi, dikarenakan niat buruk atau kepentingan-kepentingan seseorang. Di masa nabi, kebohongan informasi juga banyak terjadi. Hal ini bisa dilihat beberapa ayat al-quran atau hadist yang menceritakan hal tersebut.
Salah satu contohnya, seperti yang termaktub dalam Al-quran surat Al-Hujurat ayat 6 dan surat An-Nuur ayat 11-12.
Di era globalisasi sendiri, kebutuhan manusia akan informasi menjadi sesuatu yang mendesak. Bahkan bagi masyarakat kota, informasi bukan lagi sebatas pelengkap kehidupan, tapi seudah menjadi kebutuhan primer. Jadi tak mengherankan jika hingga saat ini, pertumbuhan jumlah media menjadi semakin menjamur di dunia.
Menjamurnya media tidak selamanya memberikan dampak yang positif, mengingat media saat ini dimiliki politisi-politisi. Keindependenan media ditangan politisi menjadi tidak marketebel, karena sudah menjadi rahasia umum bahwa politik menghalalkan segala cara. Sehingga manipulasi data dalam informasi yang di beritakan akan sangat memungkinkan.
Nah, ditengah kondisi yang seperti ini, ketelitian dalam mengkonsumsi berita menjadi hal yang penting. Karena jika kita tidak mampu memfilter dengan baik, bersiap-siaplah untuk memperoleh berita yang salah. Dan menjadi korban dari keganasan politik.


             PEMBAHASAN
1.                  Kajian pada surat Al-Hujurat ayat 6
 Artinya
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”.(Al Hujurat Ayat 6)
Imam Syafi’I berkata Allah memerintahkan kepada seseorang yang akan memutuskan suatu hal pada orang lain agar terlebih dahulu klarifikasi. Imam Baihaqi menuturkan bahwa khalifah Ar- Rasyid mendengar kabar tentang Imam Syafi’I, yang hendak mengusir seorang “alawi (pengikut Imam Ali) dari Yaman. Padahal kabar itu tidak benar. Ar-Rasyid marah, kemudian dia mengirim pasukan untuk menangkap Imam Syafi’i. Selain Imam Syafi’I ada 17 orang yang ditangkap.
Muhammad bin Hasan memberikan pertolongan, namun tidak berarti apa-apa. Ar-Rasyid membunuh 9 orang diantara mereka, kemudian Imam Syafi”I dibawa menghadap kepadanya. Begitu berada dihadapan Ar-Rasyid, Imam Syafi”I berkata dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang. Hai orang-orang beriman, jika seorang yang fasik dating kepadakalian membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kalian tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kalian menyesali perbuatan itu.
Ar-Rasyid kemudian berkata, “bukankah berita tentangmu itu benar?”
“Wahai Amirul Mukminin, bukankah setiap orang di muka bumi ini yang mengaku pengikut Ali pasti beranggapan semua orang adalah budaknya?”
Bagaimana mungkin aku akan mengusir seseorang yang akan menjadikan sebagai hambanya?
Bagaimana mungkin aku dengki dengan keutamaan Bani Abni Manaf, sedangkan aku bagain dari mereka dan mereka bagian dariku? Jelas Imam Syafi’i.
Amarah Ar-Rasyid pun reda.


2.                  Kajian Pada Surat An-Nur Ayat 11-12
Artinya:
11. “Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar”.
12. “Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mukminin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata: "Ini adalah suatu berita bohong yang nyata."(An-Nur ayat 11-12)
Ayat 11. Ayat ini mengecam mereka yang menuduh istri beliau “Aisyah ra. tanpa bukti-bukti. Allah berfirman: Sesungguhnya orang-orang yang membawa yakni menyebarluaskan dengan sengaja berita bohong yang keji itu menyangkut kehormatan keluarga Nabi Muhammad adalah dari golongan yang dianggap bagian dari komunitas kamu yakni yang hidup di tengah kamu wahai kaum mukminin. Janganlah kamu menganggapnya yakni menganggap berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu karena dengan demikian kamu dapat membedakan siapa yang munafik dan siapa yang kuat imannya. Tiap-tiap seseorang dari mereka yang menyebarkan rumor itu memperoleh balasan sesuai kadar apa yang dengan sengaja dan sungguh-sungguh dia kerjakan dari dosa isu buruk itu. Dan siapa yang mengambil bagian yang terbesar yakni yang menjadi sumber serta pemimpin kelompok itu di dalamnya yakni dalam penyiaran berita bohong itu, di antara mereka yang menyebarkan maka azab yang besar di akhirat nanti.
Dari kata al-ifk kebohongan itu adalah memutarbalikan fakta. Kata “ushbah” dijelaskan bahwa ada sekelompok orang yang melakukan fitnah besar guna mencemarkan nama baik keluarga Nabi dan merusak rumahtangga beliau. La tahsabuhu syaran lakum bal huwa khairun lakum artinya janganlah kamu menganggapnya buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu, dapat dipahami dalam arti khusus bagi mereka yang terkena langsung dampak fitnah itu, dalam hal ini Nabi SAW. dan keluarga beliau, karena dengan peristiwa ini Allah menurunkan ayat Al Quran yang dibaca sepanjang masa menyatakan tentang kesucian mereka. Ia juga baik untuk masyarakat muslim secara keseluruhan, karena dengan diketahuinya penyebar isu itu, masyarakan akan berhati-hati dari olah mereka, serta dapat pula mereka meluruskan kesalahan anggota masyarakat lain yang keliru. Bahkan umat manusia secara keseluruhan akan memperoleh manfaat dan kebaikan bila mengikuti tuntunan aya-ayat yang turun dalam kontek peristiwa pencemaran nama baik keluarha Nabi SAW.
Kata iktasaba menunjukan bahwa penyebaran isu itu dilakukan dengan sungguh-sungguh.
Kata kibrahu digunakan dalam arti yang terbanyak dan terbesar. Yang dimaksud adalah yang paling banyak terlibat dan paling besar peranannya dalam penyebaran isu tadi.
Ayat di atas menegaskan adanya siksa yang pedih bagi yang terlibat langsung dalam penyebatran isu itu, khususnya yang paling berperan. Ulam berbeda pendapat apakah siksa duniawi berupa pencambukan 80 kali, diterapkan atas mereka yang terlibat isu atau tidak./ namu demikia, walaupun mereka tidak terkena sanksi pencambukan, kecaman ayat-ayat ini serta pandangan negative yang tertuju kepada mereka setelah turunnya ayat-ayat ini, sungguh telah merupakan siksaan batin yang tidak kecil.
Di sisi lain, penegasan ayat ini bahwa yang banyak terkibat dalam isu itu akan tersiksa yakni di akhirat, antara lain dapat ditemukan indikatornya yang sangat jelas pada diri :Abdullah Ibn Ubayy Ibn Salul, yang akhirnya mati sebagai munafik terbesar, bahkan Allah swt. menilainya kafir dan melarang Nabi SAW. mendoakannya.
Ayat 12. ketika isu itu merebak ada diantara kaum muslimin yang terdiam, tidak membenarkan dan membantah. Ada juga yang membicarakannya sambil bertanya-tanya akan kebenarannya, atau sambil menampakan keheranannya. Dan ada lagi yang sejak semula tidak mempercayainya, dan mennyatakan kepercayaan tentang kesucian “Aisyah ra.
Ayat ini mengecamkan bahwamereka yang diam seakan-akan membenarkan, apalagi yang mebicarakan sambil bertanya-tanya akan kebenaran isu itu. Ayat ini menyatakan sambil menganjurkan mereka mengambil langkah positif: mengapa diwaktu kamu mendengarnya yakin berita bohong itu, kamu selaku ornag-p\orang mukmin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap saudara-sauda mereka hyang dicemarkan namanya padahal yang dicemarkan namanya itu adalah bagian dari diri mereka sendiri, bahkan menyangkut Nabi mereka, dan keluarga beliau, dan mengapa juga mereka tidak berkata : “ ini adalh suatu berita bohong yang nyata karena kami mengenal mereka sebagai orang-orang mukmin apalagi mereka adalah istri nabi bersama sahabat terpercata beliau”.
Konsekuensi keimanan adalah pembelaan terhadap kaum beriman, paling tidak pembelaan pasif dengan berkata : isu itu sangat diragukan kebenarannya bahkan dia adalah kebohongan karena ia ditujukan kepada orang-orang mukmin.
Ayat ini menekankan bahwa suatu berita yang disebarkan oleh seseorang padahal dia tidak mengetahui asal usul berita itu, sebagaimana halnya tuntutan tanpa bukti yang mendukungnya, dinilai sama dengan kebohongan yang nyata, walaupun dalam kenyataan berita tersebut benar. Ini disebabkan karena sesuatu dinilai oleh agama benar, selama apa yang disampaikan itu sesuai dengan keyakinan si pembicara, walau informasinya tidak sesuai dengan kenyataan. Misalnya, jika anda menduga si A sakit, kemudian anda memberitakannya, maka anda dinilai berucap yang benar walau dugaan anda itu tidak sesuai dengan kenyataan. Sebaliknya jika anda mengetahui bahwa dia sakit, kemudian anda berkata bahwa dia sehat, maka anda dinilai berbohong, walau dalam kenyataannya dia memang sehat. Ini karena Allah menilai niat dan motivasi pembicara, bukan kenyataan yang tidak diketahuinya. Karena itu tidaklah wajar seseorang berbicara, membenarkan atau membantah apa yang tidak diketahuinya, karena bila dia mengambil sikap yang membenarkan atau mendukung ia dinilai berbohong dalam sikapnya.


3.                  Kondisi Pemberitaan Saat Ini.

Berdasarkan kajian yang dilakukan LSM MPM(Masyarakat Peduli Media) Yogyakarta, mayoritas berita yang beredar di masyarakat sudah tidak lagi bisa dipercaya secara penuh. Karena keindependenan media di era saat ini menjadi sesuatu yang langka. Status media yang telah berubah menjadi sebuah industri menyebabkan beberapa prinsip pemberitaan tidak lagi ditaati. Keuntungan menjadi aspek yang diperhitungkan selain kebenaran.
Tidak hanya itu, privatisasi media yang dilakukan kalangan politik semakin memperkeruh dunia pemberitaan di indonesia. Berita tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang positivistik melainkan sebuah hasil konstruksi. Model berita tersebut kerap kali kita temui. Masyarakat tidak hanya dipandang sebagai komsumen berita, melainkan komoditas yang perlu diberdayakan demi kepentingan politik seorang politisi.
Dalam kondisi seperti ini, masyarakat tidak harus meninggalkan kebiasaanya dalam mengkonsumsi berita, melainkan masyarakat dituntut selektif. Rasa skeptis dalam menerima sebuah informasi menjadi perlu, jika kita hanya menelan bulat-bulat apa yang disampaikan, maka kita akan terjebak dalam kepentingan politikus tersebut.
Pemaparan diatas sangat relevan dengan apa yang Allah perintahkan dalam surat Al-Hujarat ayat 6 “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti....”


            KESIMPULAN
Manusia dan informasi merupakan variabel yang saling berkaitan dan cenderung bersimbiosis. Tanpa manusia informasi tidak akan ada, dan tanpa informasi manusia akan buta dengan dunianya.
Pada prinsipnya manusia membutuhkan informasi yang baik dan benar. informasi yang baik akan membuat manusia cerdas dan membawa kehidupan ke arah kemajuan.
Tapi kepentingan mambuat tidak semua informasi bisa disampaikan dengan sebenarnya. Oleh karenanya Allah mengingatkan kita untuk selektif dalam menerima informasi. Karena informasi yang menyesatkan akan membawa kita kepada bencana. Hal ini termaktub dalam firman Allah dalam Al-Quran surat Al-Hujarat ayat 6.

Daftar Pustaka
Al-Quran
Syaikh Ahmad Musthofa. Tafsir  Imam Syafi’i. Jakarta:Al mahira
M.Quraisy. 2002.Tafsir Al-Misbah(volume 9).Jakarta:Lentera Hati.
Kajian LSM MPM Yogyakarta

Comments

Popular posts from this blog

Menyiapkan Ikan Arwana untuk Kontes Ala Iseereds Jakarta

Bibit Ikan Arwana Iseereds Jakarta foto Fedrik/Jawa Pos Setiap kontestasi selalu menuntut lebih untuk menjadi yang terbaik. Pun sama halnya dengan arwana super-red. Mempersiapkan mereka agar siap ”diadu” membutuhkan atensi, waktu, dan modal jauh lebih besar daripada untuk sekadar pajangan. --- ADA serangkaian proses dan tahapan yang wajib dilalui dalam menyiapkan arwana kontes. Karena sifatnya wajib, satu proses saja yang tidak maksimal hampir dipastikan hasilnya tidak akan maksimal. Pendiri Iseereds Jakarta Michael Leonard memaparkan, proses melahirkan arwana super-red jempolan bahkan harus dimulai sejak pemilihan bibit. Biasanya, para pemburu mencari bibit dengan anatomi bagus dan seunik mungkin. Misalnya, kepala dengan kontur sendok yang sempurna. Kemudian sirip dayung yang panjang hingga ekor besar yang memunculkan aura gagah. ”Masalahnya, hunting ikan dengan anatomi bagus itu nggak gampang. Karena orang sudah rebutan,” ujarnya saat ditemui di kediamannya di Sunter, Jakarta Utara,

Hadits-hadits Dakwah

  Kewajiban Dakwah 1)       مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرٍ فَاعِلِهِ (رواه مسلم) “Barang siapa yang menunjukkan kepada suatu kebaikan, maka baginya pahala seperti orang yang melaksanakannya” 2)       مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ . ( وراه صحيح مسلم) Rasulullah pernah bersabda: “ Barangsiapa yang melihat kemungkaran, maka cegahlah dengan tanganmu, apabila belum bisa, maka cegahlah dengan mulutmu, apabila belum bisa, cegahlah dengan hatimu, dan mencegah kemungkaran dengan hati adalah pertanda selemah-lemah iman ” HUKUM BERDAKWAH 1)       اَنْفِذْ عَلَى رَسُلِكَ حَتَّى تَنْزِلَ بِسَاحَتِهِمْ ثُمَّ اُدْعُهُمْ إِلَى الإِسْلاَمِ وَأَخْبِرْهُمْ بـِمَا يَجِبُ عَلَيْهِمْ مِنْ حَقِّ اللهِ فِيْهِ فَوَاللهِ لِأَنْ يَهْدِيَ اللهُ بِكَ رَجُلاً وَاحِداً خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ يَكُوْنَ لَكَ حُمْرُ النَّعَمِ )  (رواه البخارى) “Aj

Ayat dan Hadits Tentang Komunikasi Efektif

Bab I Pendahuluan Dalam perspektif Islam, komunikasi merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan manusia karena segala gerak langkah kita selalu disertai dengan komunikasi. Komunikasi yang dimaksud adalah komunikasi yang islami, yaitu komunikasi berakhlak al-karimah atau beretika. Komunikasi yang berakhlak al-karimah berarti komunikasi yang bersumber kepada Al-Quran dan hadis (sunah Nabi).  Dalam Al Qur’an dengan sangat mudah kita menemukan contoh kongkrit bagaimana Allah selalu berkomunikasi dengan hambaNya melalui wahyu. Untuk menghindari kesalahan dalam menerima pesan melalui ayat-ayat tersebut, Allah juga memberikan kebebasan kepada Rasulullah untuk meredaksi wahyu-Nya melalui matan hadits. Baik hadits itu bersifat Qouliyah (perkataan), Fi’iliyah (perbuatan), Taqrir (persetujuan) Rasul, kemudian ditambah lagi dengan lahirnya para ahli tafsir sehingga melalui tangan mereka terkumpul sekian banyak buku-buku tafsir.