“Roda pasti berputar, ada kalanya semua harus
berputar”
Demikian potongan lirik lagu yang dinyanyikan
ST 12 yang sempat booming beberapa bulan yang lalu. Sebuah kalimat yang
di ambil dari filosofi putaran roda, yang mana dari kalimat tersebut terkandung
sebuah makna yang dalam akan salah satu unsur kehidupan. Manusia ada kalanya di
atas, dan ada kalanya di bawah.
Pemaparan di atas bisa dijadikan gambaran
kondisi PSSI saat ini. Tentu kita masih ingat ketika Nurdin Halid, Nirwan
Bakrie dan kelompoknya duduk di jajaran atas PSSI selama 2003-2011, kekuasaan mereka terus di
goyang oleh Arifin Panigoro dan kelompoknya. Mulai dari membuat liga tandingan
LPI hingga mencapai puncaknya ketika mereka sukses mendongkel Nurdin Halid dalam kongres Solo.
Dan kini kondisi tersebut telah berbalik 180
derajat, ketua PSSI Djohar Arifin yang masih bagian dari kelompok Arifin
Panigoro terus digoyang anggota KPSI yang mayoritas terdiri dari orang-orang
era Nurdin Halid. Tekanan itu mengalami puncaknya ketika lahirnya kompetisi
tandingan serta terjadinya dualisme kepemimpinan PSSI yang pertama sepanjang
sejarah. Penulis meyakini jika semua pecinta sepak bola di indonesia kesal
setengah mati melihat ulah pengurus PSSI.
Seluruh masyarakat indonesia sudah mampu
melihat dengan jelas, problem apa yang sebenarnya ada di PSSI. Ternyata
masalahnya bukan karena pelanggaran statua yang dilakukan Djohar, bukan karena
organisasi mana yang legal dan mana yang tidak, dan bukan pula masalah KLB mana
yang dijadikan landasan. Tapi yang menjadi problem adalah terlalu kuatnya kepentingan
dan ego masing-masing kubu. Upaya rekonsiliasi yang ditawarkan kemenpora adalah
solusi kosong yang mustahil dapat menyelesaikan konflik.
Pada hakikatnya sepak bola dan politik
bukanlah dua hal yang bisa bertemu. Sepak bola adalah olahraga yang menjunjung
sportivitas, sedangkan politik adalah hal kotor yang tidak pernah mengenal kata
sportivitas. Artinya ketika dua hal dipaksakan bersatu, padahal keduanya
memiliki prinsip dasar yang berbeda, maka yang terjadi adalah kecarut-marutan.
Persis dengan apa yang kita saksikan saat ini dipersepakbolaan indonesia.
Karena
dalam politik, kepentingan golongan lebih di dahulukan dari pada kepentingan
bersama. Dan dalam konteks mengelola sepak bola, prinsip tersebut akan
menyulitkan pengelola dalam memajukan sepak bola. Karena proses memajukan sepak
bola harus sejalan dengan kepentingan kelompoknya, sekat inilah yang menjadikan
totalitas untuk memajukan sepak bola menjadi sulit diwujudkan.
Jika kita melihat kondisi saat ini dimana
masing-masing kubu tidak ada yang mengalah, kemungkinan untuk menyelesaikan
dengan cara yang baik sangatlah kecil. Seluruh insan sepak bola indonesia akan
terus menjadi korban kepentingan segelintir orang. Dan yang lebih menyakitkan,
kondisi ini terjadi dikala sepak bola indonesia sedang berkembang. Talenta muda
seperti Syamsir Alam, Zainul Hal, Arthur Irawan yang sedang meniti karier di Eropa
dan Amerika Latin tidak luput menjadi korban kebobrokan PSSI. Bahkan, bakat
seorang tristan alif naufal yang diklaim titisan messi dari indonesia akan
menjadi sia-sia jika PSSI tidak segera memperbaiki diri.
Hanya
sanksi FIFA saja yang mungkin dapat membunuh egoisme kedua kubu. Dan dengan
rasa berat hati, kita sebagai pecinta sepak bola nasional harus rela menelan
pil pahit demi kesembuhan sepak bola indonesia.
(Tulisan ini dimuat di majalah Bola rubik oposan edisi 2.348 Senin-Rabu 7-9 Mei 2012
(Tulisan ini dimuat di majalah Bola rubik oposan edisi 2.348 Senin-Rabu 7-9 Mei 2012
Comments