Dalam bulan april lalu, obrolan tentang wanita
menjadi salah satu perbincangan hangat yang banyak di tayangkan media. Hal ini
dikarenakan ada dua momen penting yang berkaitan erat dengan wanita, pertama adalah
peringatan Hari Kartini pada 21 april dan yang kedua adalah datangnya boyband
asal Korea Selatan Super Junior yang ngetrend disebut suju, yang merupakan
pujaan wanita Indonesia pada 27-29 april.
Jika kita amati, euforia yang hadir pada hari Kartini
tidaklah sebesar euforia penyambutan datangnya Suju. Hal ini bisa dibuktikan,
jauh-jauh hari sebelum konser Suju dilaksanakan, ribuan wanita dari berbagai
daerah sudah berbondong-bondong mengantri tiket demi melihat idolanya. Bahkan
tidak sedikit diantara mereka yang rela mengantri berjam-jam sampai banyak
diantaranya yang pingsan akibat kelelahan. Sebuah perjuangan yang kurang logis.
Sedangkan dalam peringatan hari Kartini, hanya
segelintir wanita saja yang mau untuk turut meramaikanya. Itupun hanya sebatas
rutinitas tahunan yang nyaris tidak memberikan perubahan bagi pribadi wanita Indonesia.
Fakta ini jelas menjadi sesuatu yang sangat ironis, padahal jika kita kalkulasikan
jasa keduaya, tentu jauh lebih besar apa yang diberikan Kartini. Jika Suju
hanya sekumpulan pria penghibur sekaligus pengikis budaya Indonesia, Kartini
justru mengangkat kaum wanita Indonesia dari diskriminasi gender kala itu.
Meskipun terlahir dari kelas bangsawan, Kartini
tidak menutup mata untuk melihat wanita-wanita disekitarnya yang terbelenggu
kebodohan. Jiwa emansipasi yang dimilikinya membuat dia rela berjuang sekuat
tenaga untuk mengangkat derajat kaum wanita agar bisa sama dengan pria, yakni
berhak mengenyam pendidikan. Karya sensasional yang berjudul “Habis Gelap
Terbitlah Terang” menjadi bukti riil bahwa Kartini ingin membawa wanita Indonesia
keluar dari kegelapan dan mampu melihat terangnya dunia dengan ilmu. Andai tidak
ada Kartini, mungkin saja wanita Indonesia masih berada dalam belenggu
kebodohan.
Industri Budaya
Tidak dapat dipungkiri, terlalu cepatnya serbuan
budaya pop culture menjadi salah satu penyebab terkikisnya identitas
bangsa. Esensi perjuangan yang banyak dilakukan pahlawan terdahulu tidak mampu
merasuk kedalam diri pemuda, akibat tergerus oleh budaya-budaya baru. Industri
budaya yang dilakukan kaum capital sukses mengelabui frame remaja dengan
kebutuhan palsunya.
Menurut Mazhab Frankfurt, industri budaya
mencerminkan konsolidasi fetisisme komoditas, dominasi asas pertukaran dan
meningkatnya kapitalisme monopoli negara. Industri budaya membentuk selera dan
kecenderungan massa, sehingga mencetak kesadaran mereka dengan cara menanamkan
keinginan mereka atas kesadaran palsu. Oleh karena itu, industri budaya
berusaha mengesampingkan kebutuhan riil, teori atau konsep radikal dan
alternatif serta cara-cara berfikir dan bertindak oposisional politis. Dan ini
menjadikan manusia tidak menyadari dengan apa yang terjadi.
Boyband merupakan contoh dari hasil produksi
industri budaya yang kini menjadi kebutuhan tersendiri bagi kaum wanita.
Kedatangan Suju menjadi aji mumpung yang wajib dihadiri apapun resikonya. Disisi
lain, kegigihan Kartini yang tak ternilai harganya tak mampu ditransformasikan
menjadi nilai-nilai yang wajib(dibaca: kebutuhan) di jiwai.
Disini penulis tidak
menyalahkan orang-orang yang mengidolakan Suju, karena itu bagian dari hak
setiap manusia. Tapi yang penulis sesali adalah ekspresi tidak proporsional
yang menjadikan peringatan hari Kartini tidak lebih penting dibandingkan
kedatangan Suju.(Opini ini di muat koran harian Kedaulatan Rakyat rubik swaka edisi selasa 1 Mei 2012)
Comments