Peristiwa pemancungan yang menimpa Ruhyati bagaikan puncak gunung es dari sederet nasib para TKI Indonesia di luar negeri. TKI yang notabenya pahlawan devisa hingga kini belum mendapat jaminan keselamatan dalam kerjanya. Jika demikian, TKI tak lain ibarat tumbal yang diberikan pemerintah demi mengeruk aliran devisa yang katanya terbesar kedua setelah migas.
Bekerja sabagai TKI sendiri ibarat buah simalakama, karena memang lapangan kerja di Indonesia terbatas, sedangkan perut yang lapar dan tangisan keluarga memaksanya untuk bekerja meskipun harus jauh dari orang-orang yang disayangi. Jadi wajar saja meskipun banyak peristiwa naas menimpa para TKI, tapi yang berminat menjadi TKI seperti tidak pernah ada habisnya. Tapi idealnya pemerintah harus bertanggung jawab karena gagal membuka lapangan kerja di dalam negeri dengan memberikan jaminan keselamatan para TKI yang “terpaksa” berkerja diluar negeri.
Selama ini masalah yang di alami TKI berasal dari perlakuan tidak baik yang dilakukan majikanya di luar negeri, termasuk peristiwa Ruhyati pun berawal dari situ. Dengan demikian jika kita ingin menyelesaikan rentetan masalah TKI, hal pertama yang dilakukan adalah bagaimana cara untuk menghindari perlakuan tidak baik yang dilakukan majikan terhadap para TKI kita.
Atas dasar itu, pemerintah harus membuat perjanjian baru terkait pengiriman tanaga kerja. Dimana dalam perjanjian baru pemerintah Indonesia harus tegas, berani dan tanpa kompromi untuk meminta jaminan perlakuan baik. Ketika negera tersebut tidak bersedia untuk memberikan jaminan keselamatan, apapun alasanya wajib bagi pemerintah untuk membatalkan pengiriman TKI kenegara tersebut. Jual mahal sedikit bukanlah hal yang salah dibandingkan mengemis meminta pekerjaan dengan menanggung segala resiko. Karena dalam hal ini, lagi-lagi yang menanggung akibatnya adalah wong cilik.
Dimuat di Harian Republika pada rubik “Fokus Publik” edisi Kamis 10 Juni 2011(Tembus Yang Ketiga)
Comments