OLEH : FOLLY AKBAR
Setelah mega proyek pembangunan gedung baru gagal direalisasikan, para wakil rakyat sukses mencari alternatifnya. Renovasi gedung banggar nampaknya disulap menjadi mini proyek, hal ini dibuktikan dengan biaya anggaran yang tidak wajar. Jika mengaca kepada peraturan Pemerintah RI No 6/2006, tentang Pengelolaan Barang Milik Negara atau Daerah, angka 20,3 miliyar tidaklah wajar hanya untuk merenovasi gedung seluas 10x10 meter.
Padahal menurut Indonesia Property Watch (IPW) pembangunan sebuah ruang rapat untuk kategori sedang, dia memperkirakan hanya membutuhkan biaya sekitar Rp 3 juta per meter perseginya, sedangkan untuk kategori mewah, biaya yang diperlukan sekitar 5 juta per meter perseginya. Jadi diperkirakan dengan dana 2 miliyar saja, sudah cukup menciptakan ruang yang mewah.
Aroma ketidakberesan proyek ini hakikatnya bisa di cium dari awal, ketika proses lelang tidak dilakukan secara transparan. Mulai dari pemberitaan prosedur lelang hingga pemenang proyek, tidak semua disampaikan ke publik. Padahal, tender proyek setidaknya disampaikan melalui website LPSE DPR RI agar publik tahu.
Renovasi memang diperlukan jika sudah dibutuhkan, akan tetapi dilakukan dalam koridor sewajarnya. Tapi pada faktanya, perbaikan dilakukan dengan lebay , mulai dari pembelian karpet impor 5juta permeter, pemasangan dinding kedap suara hingga kursi impor Jerman seharga 24 juta perkursi.
Padahal disisi lain, banyak rakyat yang diwakilinya duduk lesehan, tidur tanpa alas bahkan masih ada ribuan warga yang tidak mampu memiliki rumah. Lalu pantaskah anggota DPR yang merupakan wakil rakyat menghambur-hamburkan uang? Logika mana yang bisa membenarkan hal itu? Tentu akan lebih bermartabat jika uang sebanyak itu digunakan untuk membangun perumahan bagi masyarakat yang tidak memiliki rumah. Itu lebih jelas manfaatnya dibanding menciptakan istana di ruang rapat yang berpotensi menambah intensitas tidur ketika rapat.
Dalam struktur pemerintahan, kedudukan dan kekuasaan ketua atau raja pasti melebihi wakilnya. Contohnya presiden memiliki kedudukan dan kekuasaan yang lebih besar di banding wakil presiden. Dalam Negara demokrasi, daulat sebagai raja sepenuhnya diberikan kepada rakyat. Tapi di Indonesia, rakyat yang merupakan raja justru ditindas oleh wakil rakyat. Bukan kah ini sebuah penghianatan?
Sulit rasanya memperbaiki watak pejabat kita yang sudah menghamba uang. Hanya ada satu solusi yang bisa menghentikan, yakni adanya hukuman mati bagi terdakwa kasus korupsi.
Comments