OLEH : FOLLY AKBAR
Beberapa waktu lalu lembaga survei mengatakan bahwa lebih dari 60% rakyat Indonesia merindukan era Soeharto. Hasil survei ini merupakan tamparan keras bagi pemerintahan dibawah komando Susilo Bambang Yudhoyono. Masyarakat seolah lupa akan sikap otoriter Soeharto karena bagi rakyat yang terpenting adalah perut kenyang, sekolah murah dan hidup damai. Kerinduan rakyat akan Soeharto sangat bisa dimaklumi, dibalik semua dosa Soeharto ada sosok peduli terhadap rakyat kecil yang tidak dimiliki presiden lainya. Karena memang latar belakang Soeharto adalah keluarga petani, sehingga dia bisa mengerti apa yang diinginkan rakyat.
Akan tetapi bayang-bayang kehidupan lebih baik dengan melengserkan Soeharto memaksa rakyat melakukan perubahan yang akrab disebut reformasi. Tapi faktanya reformasi yang dinantikan bertahun-tahun nyatanya tidak memberikan efek perubahan menuju kehidupan yang lebih baik, akan tetapi banyak pihak yang mengklaim bahwa sebaliknya, reformasipun dinyatakan gagal. Hal ini di buktikan dengan timbulnya masalah multidimensional yang menerjang bangsa ini dan kondisi rakyat tidak lebih baik dari era Soeharto. Munculnya gerakan-gerakan yang meresahkan, degradasi moral, naiknya harga kebutuhan hingga korupsi yang dilakukan siapapun telah menghiasi langit era reformasi tersebut.
Terkait hal ini, kini aktivis ‘98 kembali di sorot. Bahkan ada beberapa pihak yang menuntut pertanggung jawaban aktivis ‘98 terkait reformasi yang dilakukanya justru semakin memperparah situasi Negara.
Kalau kita amati, sangatlah disayangkan adanya kalangan yang menyalahkan aktivis 98, karena hakikatnya mereka sudah melakukan yang terbaik untuk bangsa ini. Hal ini bisa kita lihat dari konsep Negara yang di inginkan para aktivis dulu sudah sangat ideal, dimana menginginkan suatu Negara yang menjunjung asas demokrasi sehingga setiap orang bisa menyampaikan pikiranya dan turut berpartisipasi dalam membangun Negara, bukan hanya dikendalikan pemimpin yang otoriter. Sebuah konsep yang cocok dengan Negara yang berideologi pancasila dimana kekuasaan tertinggi berada ditangan rakyat.
Namun celakanya orang-orang yang tidak bertanggung jawab justru memanfaatkan moment ini demi kepentingan mereka. Yakni orang-orang yang selama masa soeharto tidak diberi kesempatan meraih kursi bergengsi dalam pemerintahan. Karena masa soeharto, TNI lah yang dijadikan partnernya. Orang-orang yang menunggangi roda reformasilah yang lebih patut dijadikan kambing hitam gagalnya pemerintahan pasca reformasi.
Kita tahu, pasca reformasi tumbuh puluhan partai politik sebagai bukti sistem demokrasi yang sesungguhnya. Tetapi celakanya partai politik yang menjadi wadah bagi siapa saja yang hendak menjadi pejabat ditunggangi orang-orang kaya sehingga lahirlah oligarki politik di Negara ini, dimana orang kayalah yang menguasai perpolitikan Negara. Orang pintarpun akan kesulitan untuk menduduki posisi terhormat jika harus bersaing dengan orang kaya. Bisa kita buktikan, di beberapa daerah ada orang yang sanggup menjadi anggota DPRD hanya dengan ijazah SMA yang notabenya menjadi PNS saja sulit, tidak lain ini semua karena uang yang berperan besar. Karena kondisi perekonomian rakyat yang sulit memaksanya tidak lagi mempertimbagkan siapa yang pantas, akan tetapi siapa yang memberi uang berarti dia yang dipilih.
Dari sanalah kita bisa menerka apa penyebab keterpurukan Indonesia khususnya pasca reformasi ini. Ketika yang ngurusin rakyat hanya bermodal uang, akan tetapi tidak memiliki kecerdasan yang bagus bagaimana mungkin akan melakukan agenda-agenda yang efektif untuk memperbaiki bangsa ini? Alhasil yang dilakukan adalah bagaimana caranya balik modal kampanye yang menghabiskan dana miliyaran tersebut, akhirnya korupsi jadi solusi. Dan wabah korupsi pasca reformasi dilakukan dari mulai pembuat KTP sampai pembuat Undang-undang.
Maka jangan heran jika agenda DPR sekarang adalah belajar(bertanya) kepada Negara yang dianggap berhasil? Karena memang mereka tidak tahu caranya membuat kebijakan yang baik dan memang mental orang kaya yang sukanya jalan-jalan. Dan jangan heran pula jika megaproyek DPR adalah membangun gedung yang mewah, karena orang kaya tidak betah hidup di tempat sederhana. Nonton video porno ketika rapat pun dilakukan sebagai ajang refreshing karena otak tidak mampu mengimbangi jalanya rapat. Wong Cuma modal uang ko ngurus Negara? Ya ga cukup.
Suatu keadaan yang tampaknya sudah sangat mengkhawatirkan, bahkan seandainya terjadi revolusipun belum tentu keadaan akan lebih baik. Akan tetapi bukan berarti tidak ada cara, pendidikan politik kepada rakyat tampaknya bisa dijadikan opsi. Meskipun prosesnya membutuhkan waktu yang lama akan tetapi cara ini lebih damai dibandingkan revolusi yang dipastikan mengkorbankan jiwa. Ketika masyarakat bisa memahami politik, secara otomatis meraka akan “melek politik” dan tidak lagi bersikap apatis sehingga masyarakat tidak terjebak didalam oligarki politik yang menyesatkan bangsa. Dan kedepanya masyarakat juga akan bisa memilih orang-orang seperti apa yang layak ditunjuk untuk memimpin dan mengurusinya.
Dimuat Harian Jawapos-Radar Jogja dalam rubik “Ruang Publik” Edisi Rabu 30 November 2011(Tembus Ke Enam)
Comments